31 Mei 2012

Pemberontakan Ala Boombox Monger


Homicide
Saya mencintai musik lebih banyak daripada buku. Saya memang lahir di kalangan pemusik. Keluarga pemusik. Kala itu ayah masih dengan bangganya mempertahankan jazz fusion dari permainan gitarnya. Sedangkan saya lebih memilih jalan grunge underground ketika menjadi gitaris dan drummer sebuah band indie.


Saya mencintai musik sampai saya skeptis dan bisa saja jadi memarahi orang jika ada yang tak sependapat. Teman saya sering mengatakan itu. Katanya saya skeptis, apalagi jika sudah menyangkut musik dan buku. Entah kalau disandingkan dengan orang skeptis lainnya, mungkin saya bisa saja kalah. Tapi kalau sudah ada yang membantah saya, saya lebih banyak tak mau terima.

Musik saya tak berhenti di situ-situ saja. Berbagai jenis musik yang kuat dari segi lirik juga, sering saya bahas bersama beberapa teman pemusik di komunitas saya. Dan dalam kurun beberapa tahun terakhir -di samping membahas Efek Rumah Kaca- saya malah membahas salah satu grup musik yang sekarang ini sudah tak lagi tampil. Sudah vakum total. Sayang sekali padahal. Dan mungkin, kalau kalian mendengarkannya juga, kalian akan terkesima. Musik ini mengusung tema pemberontakan, sebuah orasi besar-besaran untuk menantang tirani. Musik ini membawa kita pada era tahun 90-an ketika musik alternatif yang tergerus hip-hop masih mendunia. Musik ini adalah pemberontakan ala boombox monger.

***

Mendengar boombox kita pasti ingat akan sebuah kotak besar yang dibawa musisi hip-hop kemanapun. Sebuah kotak musik yang bisa meledakkan apa saja dan membuat semua orang berjoget. Di jalanan, di pelataran gedung yang kapitalis, dan di depan tempat-tempat praktik kemaksiatan yang bisa dihancurkan begitu saja. Dan oleh grup musik satu ini, boombox menjadi kekuatan terbesar, di samping lirik-lirik yang sarat akan realisme sosial. Oh ya, saya belum menyebutkan nama grupnya sedari tadi. Kira-kira ada yang tahu tidak? Ada yang bisa menebak atau tidak?

Namanya Homicide. Grup musik ini digawangi oleh Ucok yang rajin sekali menulis catatan harian bak Soe Hok Gie, dan rajin sekali membaca buku-buku Salman Rushdie. Orangnya sangat kiri dan bawah tanah sekali. Pada masa Orde Baru, mungkin grup musik ini satu-satunya yang tidak diketahui, meskipun liriknya menyorot penguasa tiran pada masa itu.

Beberapa lagunya memang mengandung lirik yang sangat sulit dipikirkan oleh manusia pada umumnya, karena memang lebih menyerempet pada keindahan sastra yang dibalut realita. Seperti membaca jurnalisme sastrawi, mungkin seperti inilah kiranya gambaran dari Homicide.

Skeptisisme saya lahir dari mereka. Tak jarang saya jadi termotivasi juga untuk melakukan berbagai pemberontakan. Saya hanya bisa sampai berdemo saja, tidak benar-benar sampai memberi surat kaleng pada penguasa. Dan saya rasa Ucok sudah sampai tahap surat kaleng itu. Maka dari itulah, saya menelan bulat-bulat apa yang Ucok sebutkan dalam tiap lagu, karena memang benar begitu adanya. Tak perlu ada yang takut termanipulasi, karena Ucok melahirkan realita di dalam musiknya.

Soal musik, mungkin tak banyak yang bisa didapatkan masyarakat awam. Musik Homicide hanya terpaku pada beatbox dari mulut sendiri, dee-jay yang memutar-mutar piringan raksasa, dan hanya sebuah orasi kata-kata dalam bit seorang rapper. Itu saja. Tak ada gitar, tak ada melodi-melodi menyayat hati, dan tak ada dinamika. Dinamika lebih ditekankan dari permainan kata-kata Ucok dan orasi Ucok yang sangat membara.

Saya senang ketika mendengar ini. Ucok seperti membawa kita untuk ikut berteriak-teriak di tengah khalayak. Padahal, Ucok adalah pemusik, bukan orator seperti Bung Karno.

Yang membuat saya tak habis pikir, kenapa saya jadi mau-maunya mencari istilah-istilah asing dari lagu-lagu Ucok? Sepertinya saya sudah semakin gila saja akan keampuhan lirik Homicide dalam menantang tirani. Terlebih lagi, lagu-lagunya seperti Sajak Suara, Siti Djenar Chyperdrive, Barisan Nisan, Tantang Tirani, dan lagu-lagu lain telah mengawang-awang di pangkal pikiran saya. Seperti hendak meledak dan terus menyeruak dan berteriak. Lagu-lagu ini membuat saya bangkit berdiri dan harus menyadari akan satu hal yang tak mungkin lekang dari pemerintahan kita, sebuah feodalisme yang melekat.

Kita sudah dibentuk sedari kecil dengan mental feodal, dimana kita akan terus menjadi yang tersisih dari pemerintahan yang tiran. Mental ini pun sempat dibahas ketika seminar Reformasi Birokrasi yang sempat digelar pada 26 Mei lalu. Kala itu, saya hanya bisa tersenyum sinis menanggapi semuanya sambil berkata, “Cih! Memang busuk sekali doktrin reformasi birokrasi seperti ini!”

Sambil terus memegang teguh jiwa pemberontakan ala Homicide dan membuang jauh-jauh mental feodal, saya katakan bahwa saya ini termasuk orang yang sedemikian skeptis. Tak mengapa jika nantinya semua sifat saya ini akan runtuh seiring waktu. Yang jelas, selagi muda, saya akan menendang jauh mental feodal dalam diri agar tak melulu bisa dikalahkan oleh tingkatan-tingkatan sosial yang kadang membuat manusia terpecah belah.

Sebagai rakyat Indonesia, saya merasa satu dan saya merasa harus bersuara. Sebentuk sajak suara ini mungkin jadi jawabannya.

Sajak Suara - Homicide
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku

suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakan!

sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?

sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan


Bagaimanapun, meski Ucok dan Homicide berhenti berontak, saya tetap akan berteriak. Saya akan tetap begini dan skeptis seperti ini. Jiwa anak muda memang harusnya begini bukan? Saya pun tak akan rela jika harus berlama-lama menerima pahitnya tata cara “mereka” memerintah Indonesia. Ah entahlah, saya rasa konsumsi buku saya sudah kelewat batas.


---------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Ingin ikut berkontribusi sumbang tulisan? Baca halaman Undangan Berkontribusi"
Ikuti kami di twitter @anggurtorelli, dan halaman facebook Anggur Torelli

4 komentar:

  1. Saya baru dengar nama pemusik ini. Terima kasih, Saudari penulis. Teruslah berteriak dan berontak. Saya menjura 45 derajat atas data, gaya tulis, dan produktivitas penulis. Salam.

    BalasHapus
  2. Salam Bang. :) Saya pun kagum dengan tulisan anda yang sastrawi sekali. Apa karena namanya berunsur sama? :D 

    (apa sih) 

    Hehe.

    Sekali lagi, angkat topi! :)

    BalasHapus
  3. entah beberapa minggu ini saya jadi suka denger lagu-lagu homicide dan baca tulisannya kang ucok (homicide). Lagunya emang beda bgt. :) 

    BalasHapus
  4. wah, selamat! anda telah teracuni homicide! hehe.

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...