Oleh: Bahtiar Rifai
Chicken Soup for College Soul |
Sastra
adalah tema yang asing buat saya. Namun sejak membaca Blog Anggur Torelli, mengenal sastra seakan menjadi pekerjaan rumah (PR). Syukur-syukur
jika nantinya sampai berbuah artikel tandingan dari cerita yang ditulis oleh Ahmad
Makki, Hidup Saya Sejak Membaca Dataran Tortilla. Maklumlah selama ini saya hanya melahap buku-buku bertema
motivasi, seperti Chiken Soup.
Perihal
Chicken Soup, dulu saya pertama mendapati
sebuah seri buku ini di barisan rak buku Iqbal, salah satu teman dekat saya. Penasaran,
saya sambar bacaan tersebut dengan harapan dapat menjadi bekal saat kuliah
sesuai dengan anak judul “For the College
Soul” yang bertengger di sampulnya.
"Buku
bagus itu,” Iqbal memprovokasi. Belakangan saya tak yakin dia sudah membaca dan
memahami isinya. Buktinya saat saya ketagihan membaca dan berniat meminjamnya, dengan
enteng Iqbal mengatakan, “bawa pulang aja".
Di rumah, tak habis-habisnya saya membaca sambil mengagumi buku itu. Dua hari
saya tersandera.
Setelah
membaca, saya jadi ingat sebentar lagi ujian kelulusan sekolah. Saya selalu
membayangkan untuk melanjukan pendidikan ke perguruan tinggi. Hal tersebut
berusaha saya pendam karena kondisi ekonomi keluarga. Belum lagi menghitung
jumlah saudara kandung saya cukup banyak dan juga butuh ongkos. Bahkan untuk
membayar ongkos Ujian Nasional saya pun orangtua masih kebingungan.
Hampir
setahun sebelumnya, sekitar tahun 2003, saat mulai masuk kelas III Aliyah, orangtua
saya terpaksa datang ke sekolah demi minta keringanan SPP. Syukurlah permohonan
ini dikabulkan. Bahkan saya dibolehkan tidak membayar SPP selama satu tahun.
Syaratnya setiap awal bulan saya mesti mengambil nota bebas bayaran dari kepala
yayasan, lalu meminta stempel lunas di kartu SPP kepada bagian Tata Usaha.
Karena hal itu, di sekolah saya kerap merasa malu.
Tetapi
sudahlah. Meski nanti tak bisa kuliah, paling tidak Chiken Soup berhasil membuat saya jadi tertarik lebih banyak membaca.
Hampir setiap pulang sekolah saya berjalan kaki demi mengunjungi toko buku
Gunung Agung, Bekasi. Kebetulan toko buku tersebut yang paling dekat dengan
sekolah saya. Apalagi di sana pengunjung dibolehkan membaca buku-buku yang tak
tersegel.
Suatu
kali saya temukan majalah Higher Learning
yang memuat artikel Kejar Beasiswa!.
Majalah ini menjelaskan asal usul beasiswa, direktori beasiswa dalam dan luar
negeri, serta untuk siapa diberikan. Kebetulan beberapa hari sebelumnya saya
juga sempat ikut seminar dengan judul "Kemana
setelah SMU?" Dua peristiwa ini membuat saya kembali percaya, saya
bisa lulus dan melanjutkan kuliah asal mau berusaha.
Saat
itu waktu pendaftaran Ujian Akhir Nasional (UAN) semakin dekat. Saya perlu biaya
sekitar 800 ribu. Lewat petunjuk majalah di atas, saya berberniat mendatagi kantor
sebuah lembaga sosial. Untuk pertama kalinya saya “pergi jauh” sendirian dari
Bekasi. Saya susuri Jl. Ir. H. Juanda, Ciputat, mencari alamat yang dituju.
Kantor
lembaga tersebut tak jauh dari UIN Jakarta, kampus yang kelihatannya baru
dipugar besar-besaran. Saya terpikir untuk kuliah di sana. Tapi sekarang yang
paling penting adalah mengajukan permohonan bantuan biaya. Saya masuk kantor
lembaga sosial tersebut sambil membawa rincian biaya dari sekolah. Dari sana saya
mendapat separuh dari jumlah kebutuhan (400 ribu). Sisanya dipenuhi orangtua.
Di
sekolah, saya mengajukan permohonan ikut jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan
(PMDK) untuk UIN Jakarta. Saat UAN selesai, saya mendapat peringkat pertama
Jurusan Bahasa di sekolah. Ini tentu jadi pertimbangan kuat sekolah
memprioritaskan permohonan saya. Impian pun terlaksana. Saya mengikuti ujian
masuk di UIN Jakarta, dan berhasil lulus.
Tapi
persoalan lain sudah menunggu. Dalam waktu satu minggu saya harus membayar uang
masuk sekitar 2 juta. Tak terpikirkan sama sekali bagaimana saya bakal mendapat
uang sebanyak itu. orangtua saya pun bingung. Usaha penebangan kayu dan pembuatan
kusennya tengah sepi.
Maka
selama tiga hari saya datangi beberapa lembaga sosial yang punya program
pemberian beasiswa. Bahkan Dirjen Perguruan Tinggi (DIKTI) saya kirimi surat.
Tapi semua lembaga sosial mengatakan, "tidak ada beasiswa untuk calon
mahasiswa”. Program mereka ditujukan untuk mahasiswa semester dua sampai enam.
Surat untuk DIKTI pun tak kunjung berbalas.
Pada
petang hari ketiga pencarian, saya baru pulang ketika ayah memberikan uang
senilai 2 juta. Saya tentu keheranan.
"Ini
uang dari mana?"
“Jual
tanah kontrakan yang 50 meter. Dapat 20 juta," kata ibu.
Air
mata saya langsung tumpah seketika. Entah ini sebuah berkah atau cambukan. Yang
pasti saya bisa melanjutkan pendidikan. Saya sadar orangtua telah berusaha
semampu mereka bisa. Maka saya berusaha untuk tak lagi merepotkan. Selama di
kampus, kegiatan mengejar segala sumber beasiswa rutin saya lakukan.
Sampai
kapan pun tak mungkin saya lupakan usaha yang telah orangtua lakukan demi saya.
Tapi saya juga akan selalu ingat bagaimana awalnya Chicken Soup membuat percaya, bahwa impian melanjutkan pendidikan
ke jenjang kuliah bisa saya kejar.
"Ingin ikut berkontribusi sumbang tulisan? Baca halaman Undangan Berkontribusi"
Ikuti kami di twitter @anggurtorelli, dan halaman facebook Anggur Torelli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar