29 Mei 2012

Termotivasi Kuliah Gara-gara Chiken Soup



Chicken Soup for College Soul
Sastra adalah tema yang asing buat saya. Namun sejak membaca Blog Anggur Torelli, mengenal sastra seakan menjadi pekerjaan rumah (PR). Syukur-syukur jika nantinya sampai berbuah artikel tandingan dari cerita yang ditulis oleh Ahmad Makki, Hidup Saya Sejak Membaca Dataran Tortilla. Maklumlah selama ini saya hanya melahap buku-buku bertema motivasi, seperti Chiken Soup.

Perihal Chicken Soup, dulu saya pertama mendapati sebuah seri buku ini di barisan rak buku Iqbal, salah satu teman dekat saya. Penasaran, saya sambar bacaan tersebut dengan harapan dapat menjadi bekal saat kuliah sesuai dengan anak judul “For the College Soul” yang bertengger di sampulnya.

"Buku bagus itu,” Iqbal memprovokasi. Belakangan saya tak yakin dia sudah membaca dan memahami isinya. Buktinya saat saya ketagihan membaca dan berniat meminjamnya, dengan enteng Iqbal mengatakan, “bawa pulang aja". Di rumah, tak habis-habisnya saya membaca sambil mengagumi buku itu. Dua hari saya tersandera.

Setelah membaca, saya jadi ingat sebentar lagi ujian kelulusan sekolah. Saya selalu membayangkan untuk melanjukan pendidikan ke perguruan tinggi. Hal tersebut berusaha saya pendam karena kondisi ekonomi keluarga. Belum lagi menghitung jumlah saudara kandung saya cukup banyak dan juga butuh ongkos. Bahkan untuk membayar ongkos Ujian Nasional saya pun orangtua masih kebingungan.

Hampir setahun sebelumnya, sekitar tahun 2003, saat mulai masuk kelas III Aliyah, orangtua saya terpaksa datang ke sekolah demi minta keringanan SPP. Syukurlah permohonan ini dikabulkan. Bahkan saya dibolehkan tidak membayar SPP selama satu tahun. Syaratnya setiap awal bulan saya mesti mengambil nota bebas bayaran dari kepala yayasan, lalu meminta stempel lunas di kartu SPP kepada bagian Tata Usaha. Karena hal itu, di sekolah saya kerap merasa malu.

Tetapi sudahlah. Meski nanti tak bisa kuliah, paling tidak Chiken Soup berhasil membuat saya jadi tertarik lebih banyak membaca. Hampir setiap pulang sekolah saya berjalan kaki demi mengunjungi toko buku Gunung Agung, Bekasi. Kebetulan toko buku tersebut yang paling dekat dengan sekolah saya. Apalagi di sana pengunjung dibolehkan membaca buku-buku yang tak tersegel.

Suatu kali saya temukan majalah Higher Learning yang memuat artikel Kejar Beasiswa!. Majalah ini menjelaskan asal usul beasiswa, direktori beasiswa dalam dan luar negeri, serta untuk siapa diberikan. Kebetulan beberapa hari sebelumnya saya juga sempat ikut seminar dengan judul "Kemana setelah SMU?" Dua peristiwa ini membuat saya kembali percaya, saya bisa lulus dan melanjutkan kuliah asal mau berusaha.

Saat itu waktu pendaftaran Ujian Akhir Nasional (UAN) semakin dekat. Saya perlu biaya sekitar 800 ribu. Lewat petunjuk majalah di atas, saya berberniat mendatagi kantor sebuah lembaga sosial. Untuk pertama kalinya saya “pergi jauh” sendirian dari Bekasi. Saya susuri Jl. Ir. H. Juanda, Ciputat, mencari alamat yang dituju.

Kantor lembaga tersebut tak jauh dari UIN Jakarta, kampus yang kelihatannya baru dipugar besar-besaran. Saya terpikir untuk kuliah di sana. Tapi sekarang yang paling penting adalah mengajukan permohonan bantuan biaya. Saya masuk kantor lembaga sosial tersebut sambil membawa rincian biaya dari sekolah. Dari sana saya mendapat separuh dari jumlah kebutuhan (400 ribu). Sisanya dipenuhi orangtua.

Di sekolah, saya mengajukan permohonan ikut jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) untuk UIN Jakarta. Saat UAN selesai, saya mendapat peringkat pertama Jurusan Bahasa di sekolah. Ini tentu jadi pertimbangan kuat sekolah memprioritaskan permohonan saya. Impian pun terlaksana. Saya mengikuti ujian masuk di UIN Jakarta, dan berhasil lulus.

Tapi persoalan lain sudah menunggu. Dalam waktu satu minggu saya harus membayar uang masuk sekitar 2 juta. Tak terpikirkan sama sekali bagaimana saya bakal mendapat uang sebanyak itu. orangtua saya pun bingung. Usaha penebangan kayu dan pembuatan kusennya tengah sepi.

Maka selama tiga hari saya datangi beberapa lembaga sosial yang punya program pemberian beasiswa. Bahkan Dirjen Perguruan Tinggi (DIKTI) saya kirimi surat. Tapi semua lembaga sosial mengatakan, "tidak ada beasiswa untuk calon mahasiswa”. Program mereka ditujukan untuk mahasiswa semester dua sampai enam. Surat untuk DIKTI pun tak kunjung berbalas.

Pada petang hari ketiga pencarian, saya baru pulang ketika ayah memberikan uang senilai 2 juta. Saya tentu keheranan.

"Ini uang dari mana?"
“Jual tanah kontrakan yang 50 meter. Dapat 20 juta," kata ibu.

Air mata saya langsung tumpah seketika. Entah ini sebuah berkah atau cambukan. Yang pasti saya bisa melanjutkan pendidikan. Saya sadar orangtua telah berusaha semampu mereka bisa. Maka saya berusaha untuk tak lagi merepotkan. Selama di kampus, kegiatan mengejar segala sumber beasiswa rutin saya lakukan.

Sampai kapan pun tak mungkin saya lupakan usaha yang telah orangtua lakukan demi saya. Tapi saya juga akan selalu ingat bagaimana awalnya Chicken Soup membuat percaya, bahwa impian melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah bisa saya kejar.





"Ingin ikut berkontribusi sumbang tulisan? Baca halaman Undangan Berkontribusi"
Ikuti kami di twitter @anggurtorelli, dan halaman facebook Anggur Torelli

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...