Oleh: AyuWelirang
Grup musik Efek Rumah Kaca |
Berapa
banyak musik yang menginspirasi? Berapa banyak lirik yang mencerminkan jati
diri? Berapa banyak lagu yang bisa mengena di hati sampai berhari-hari bahkan
bertahun-tahun lamanya? Saya rasa, untuk tipikal musik seperti itu, dewasa ini
sudah tak ada. Saya agak muak dan mual dengan kondisi industri musik seperti
ini di Indonesia. Entah kapan kelatahan musik segera berhenti. Saya rasa,
musik-musik berlabel mayor sudah tak lagi mengerti apa hakikat musik. Tak ada
lagi idealisme yang tertanam dan itu semua demi mengejar satu kata, uang atau
terkenal.
Segala
kelatahan ini dengan sukses disuarakan oleh sebuah band indie. Saya sudah lama mengenal band ini, mungkin sejak lulus SMP.
Band ini mengutamakan kualitas musik dan juga kekuatan lirik yang sangat
“sastra”. Padahal, ketika saya menemui sang vokalis pada gelaran pameran foto
dan grafis “PANC?SILA” di Galeri Antara Februari lalu, sang vokalis sempat
berkelakar mengenai dirinya yang dibantu oleh sang istri dalam pembuatan lirik.
Tapi, bukan berarti tak mungkin kalau perannya pun sangat penting. Beberapa
lagu dengan dinamika musik yang aneh dan tak sesuai kaidah musik berhasil
ditampilkan dengan indah. Banyak juga yang menyukai band ini. Ini perlahan bisa
menghapuskan kelatahan musik mayor dan
membuktikan bahwa yang independen dan idealis, masih tetap keren.
***
Ada yang
lemah, kagum banggaku.
Malu,
membelenggu.
Ada yang
mekar, serupa benalu.
Tak mau
temanimu.
Lekas,
bangun dari tidur berkepanjangan.
Menyatakan
mimpimu.
Cuci muka
biar terlihat segar.
Penggalan
lirik di atas adalah salah satu lagu dari band yang sudah saya sebutkan pada
paragraf sebelumnya. Mungkin di antara kalian sudah mengenalnya. Efek Rumah
Kaca nama band itu. Beranggotakan Cholil, Adrian, dan Akbar, band ini
benar-benar sukses membawa suara dan nafas sosial dalam lingkup masyarakat
umum. Mereka menyentuh dan memotret kondisi sosial pada semua tingkatan. Mulai
dari rakyat desa sampai artis ibukota. Tak ada satu pun yang luput dari penangkapan
indera mereka bertiga.
Saya
mengenal mereka sejak menyaksikan sebuah video klip yang dominan hitam putih.
Kala itu, saya sedang menyelesaikan tugas dari sekolah sambil menonton acara
musik tengah malam. Lalu, tersiarlah lagu Cinta
Melulu dari balik layar televisi dengan drum yang dominan pada awal musik.
Saya yang saat itu juga masih bermain dalam sebuah band grunge bernafaskan Nirvana, sontak kaget dengan permainan drum dari
drummer band itu. Saya belum pernah mendengar musik seperti ini sebelumnya.
Antara psychadelic rock dari
Radiohead yang vokalnya segila Matt Bellamy dari Muse. Band-band itu masih satu
nafas dengan Nirvana sehingga saya langsung menghentikan kegiatan belajar dan
fokus pada televisi. Saya kencangkan pula suara televisi sehingga Ibu saya
harus berteriak dari kamar di lantai bawah dan meminta saya untuk segera
mematikan televisi. Sekali-kalinya dalam seumur hidup, saya tidak mendengar
kicauan Ibu dan menghiraukannya, karena lagu itu.
Cinta Melulu ini kurang lebih
membahas tentang kelatahan musik Indonesia seperti yang saya sebutkan tadi.
Musik Indonesia yang mendayu-dayu dan melulu Melayu terdengar dalam salah satu
baris lirik, “Hohoo. Lagu cinta melulu.
Kita memang benar-benar Melayu, suka yang sendu-sendu. Apa memang karena kuping
Melayu? Suka mendayu-dayu. Lagu cinta melulu!”
Saya
pun menangkap baris itu dan keesokan harinya, saya segera mencari lagu itu di
warnet dekat sekolah.
Tak
berhenti sampai di situ, pencarian saya membuahkan hasil yang lebih. Dari
mencari lirik, saya mendapatkan tautan yang berisi satu album dari band itu,
Efek Rumah Kaca. Album pertamanya yang diberi tajuk sama mulanya tak saya
hiraukan. Saya hanya mengulang lagu Cinta
Melulu dan tidak berniat mendengarkan yang lain. Sampai saya mendengarkan
yang lain, saya tak bisa beranjak dari komputer. Saya sampai rela bermain gitar
saban hari agar mendapatkan kunci gitarnya dan kelak, band saya harus memainkan
lagunya! Tapi, sampai sekarang nyatanya belum ada teman saya yang berani
memainkan bass dan juga drum dari lagu ini. Gitarnya memang bisa saya dapatkan,
meski sulit. Tapi untuk bass dan drum? Serupa Beatles dan kekentalan RHCP kalau
menurut saya. Pelik. Sepelik lagu Belanja
Terus Sampai Mati.
Sedari
tadi saya hanya bercerita masalah teknis. Di mana nilai sosialnya? Sabar dulu.
Saya pasti cerita. Musik pasti ada lirik juga toh? Dan di sini nilai sosialnya. Ada beberapa lagu di album pertama
dan kedua yang sangat sarat akan kisah-kisah hilangnya aktivis yang membangkang
pada Soeharto. Seperti kisah Munir yang mati tanpa pernah selesai diusut, pada
lagu Di Udara. Dari sini kita bisa
mendengar kata-kata, “Ku bisa diracun di udara.” Meski begitu, Cholil tetap
menggambarkan sosok Munir yang tak pernah padam. Akan ada pejuang-pejuang HAM
lainnya yang muncul dan memperjuangkan HAM seperti Munir.
Kehidupan
urban dan sosialita Jakarta pun dikupas habis oleh Efek Rumah Kaca. Tanpa takut
ada pencekalan atas mereka, mereka tetap bersuara selayaknya Iwan Fals. Mungkin
karena mereka berkiblat pada Iwan Fals maka warna musik mereka pun menjadi
seperti itu. Saya sampai tercengang kala mendengar beberapa kondisi lirik yang
menggambarkan kebebalan atas sistem pemerintahan. Betapa rakyat telah dibuat
kecewa dengan sistem yang terus berganti tanpa pernah ada hasil menepi. Sistem
yang terus mencekik rakyat dan membunuh mereka pelan-pelan.
Saya
maklum kalau Efek Rumah Kaca ini memiliki banyak penggemar. Mulai kalangan
mahasiswa sampai kalangan aktivis yang idealis. Begitu banyak pesan moral dan
sosial yang bisa kita dapatkan dari lagu-lagu Efek Rumah Kaca. Kata-kata Kurt
Cobain bahwa, “Music comes first, lyric
comes second,” seakan tak berlaku bagi Efek Rumah Kaca. Dari segi musik,
mereka seratus persen juara dan dari segi lirik dua kali lipatnya. Saya tak
habis pikir, bagaimana mereka bisa menjadi aktivis dan dalam satu waktu yang
sama, mereka menjadi seniman pula. Mungkin memang beginilah cara yang paling
tepat untuk menyuarakan dan memperjuangkan suatu hak, dengan seni. Cara barbar
sudah tak laku lagi saat ini! Sudah tak dilirik lagi!
***
Kita
mengenal begitu banyak jenis musik yang mengakar dari blues. Musik seperti jazz,
classic, folks, rock ‘n roll, reggae, bahkan grunge benar-benar mengakar dari blues. Sedangkan, Efek Rumah Kaca menyebut diri mereka trio
pop-minimalis. Padahal, yang saya lihat, semua unsur yang lahir dari blues, ada semua dalam diri Efek Rumah
Kaca. Kalau mereka bisa menyebut pop-minimalis, berarti mereka sedang berupaya
untuk mengembalikan musik pop atau populer ke dalam jalur yang benar. Dari
semula pop-Melayu yang mendayu-dayu dan membuat mual, kembali pada jalur musik
yang enak didengar dan nikmat dicerna dari segi kata-kata.
Saya
pun sekarang sudah menanggalkan atribut grunge
dan sikap vandalis yang dilahirkan dari genre tersebut. Meski tak bisa
dipungkiri bahwa saya lahir dan bermain gitar distorsi ala grunge, saya sudah jatuh hati dengan pop-minimalis ini. Musik yang
minim distorsi dengan maksimum teknis, saya temukan dalam Efek Rumah Kaca.
Ah,
entahlah. Saya benar-benar tak bisa berkata banyak jika membahas Efek Rumah
Kaca. Cukup dengarkan dan bersiaplah untuk tercengang. Seluruh kondisi dan
realita Indonesia, ada di sana.
"Ingin ikut berkontribusi sumbang tulisan? Baca halaman Undangan Berkontribusi".
Ikuti kami di twitter @anggurtorelli, dan halaman facebook Anggur Torelli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar