25 Mei 2012

Gelora Kata dan Realita Dalam Musik



Grup musik Efek Rumah Kaca
Berapa banyak musik yang menginspirasi? Berapa banyak lirik yang mencerminkan jati diri? Berapa banyak lagu yang bisa mengena di hati sampai berhari-hari bahkan bertahun-tahun lamanya? Saya rasa, untuk tipikal musik seperti itu, dewasa ini sudah tak ada. Saya agak muak dan mual dengan kondisi industri musik seperti ini di Indonesia. Entah kapan kelatahan musik segera berhenti. Saya rasa, musik-musik berlabel mayor sudah tak lagi mengerti apa hakikat musik. Tak ada lagi idealisme yang tertanam dan itu semua demi mengejar satu kata, uang atau terkenal.

Segala kelatahan ini dengan sukses disuarakan oleh sebuah band indie. Saya sudah lama mengenal band ini, mungkin sejak lulus SMP. Band ini mengutamakan kualitas musik dan juga kekuatan lirik yang sangat “sastra”. Padahal, ketika saya menemui sang vokalis pada gelaran pameran foto dan grafis “PANC?SILA” di Galeri Antara Februari lalu, sang vokalis sempat berkelakar mengenai dirinya yang dibantu oleh sang istri dalam pembuatan lirik. Tapi, bukan berarti tak mungkin kalau perannya pun sangat penting. Beberapa lagu dengan dinamika musik yang aneh dan tak sesuai kaidah musik berhasil ditampilkan dengan indah. Banyak juga yang menyukai band ini. Ini perlahan bisa menghapuskan kelatahan musik mayor dan  membuktikan bahwa yang independen dan idealis, masih tetap keren.

***

Ada yang lemah, kagum banggaku.
Malu, membelenggu.
Ada yang mekar, serupa benalu.
Tak mau temanimu.
Lekas, bangun dari tidur berkepanjangan.
Menyatakan mimpimu.
Cuci muka biar terlihat segar.

Penggalan lirik di atas adalah salah satu lagu dari band yang sudah saya sebutkan pada paragraf sebelumnya. Mungkin di antara kalian sudah mengenalnya. Efek Rumah Kaca nama band itu. Beranggotakan Cholil, Adrian, dan Akbar, band ini benar-benar sukses membawa suara dan nafas sosial dalam lingkup masyarakat umum. Mereka menyentuh dan memotret kondisi sosial pada semua tingkatan. Mulai dari rakyat desa sampai artis ibukota. Tak ada satu pun yang luput dari penangkapan indera mereka bertiga.

Saya mengenal mereka sejak menyaksikan sebuah video klip yang dominan hitam putih. Kala itu, saya sedang menyelesaikan tugas dari sekolah sambil menonton acara musik tengah malam. Lalu, tersiarlah lagu Cinta Melulu dari balik layar televisi dengan drum yang dominan pada awal musik. Saya yang saat itu juga masih bermain dalam sebuah band grunge bernafaskan Nirvana, sontak kaget dengan permainan drum dari drummer band itu. Saya belum pernah mendengar musik seperti ini sebelumnya. Antara psychadelic rock dari Radiohead yang vokalnya segila Matt Bellamy dari Muse. Band-band itu masih satu nafas dengan Nirvana sehingga saya langsung menghentikan kegiatan belajar dan fokus pada televisi. Saya kencangkan pula suara televisi sehingga Ibu saya harus berteriak dari kamar di lantai bawah dan meminta saya untuk segera mematikan televisi. Sekali-kalinya dalam seumur hidup, saya tidak mendengar kicauan Ibu dan menghiraukannya, karena lagu itu.

Cinta Melulu ini kurang lebih membahas tentang kelatahan musik Indonesia seperti yang saya sebutkan tadi. Musik Indonesia yang mendayu-dayu dan melulu Melayu terdengar dalam salah satu baris lirik, “Hohoo. Lagu cinta melulu. Kita memang benar-benar Melayu, suka yang sendu-sendu. Apa memang karena kuping Melayu? Suka mendayu-dayu. Lagu cinta melulu!”

Saya pun menangkap baris itu dan keesokan harinya, saya segera mencari lagu itu di warnet dekat sekolah.

Tak berhenti sampai di situ, pencarian saya membuahkan hasil yang lebih. Dari mencari lirik, saya mendapatkan tautan yang berisi satu album dari band itu, Efek Rumah Kaca. Album pertamanya yang diberi tajuk sama mulanya tak saya hiraukan. Saya hanya mengulang lagu Cinta Melulu dan tidak berniat mendengarkan yang lain. Sampai saya mendengarkan yang lain, saya tak bisa beranjak dari komputer. Saya sampai rela bermain gitar saban hari agar mendapatkan kunci gitarnya dan kelak, band saya harus memainkan lagunya! Tapi, sampai sekarang nyatanya belum ada teman saya yang berani memainkan bass dan juga drum dari lagu ini. Gitarnya memang bisa saya dapatkan, meski sulit. Tapi untuk bass dan drum? Serupa Beatles dan kekentalan RHCP kalau menurut saya. Pelik. Sepelik lagu Belanja Terus Sampai Mati.

Sedari tadi saya hanya bercerita masalah teknis. Di mana nilai sosialnya? Sabar dulu. Saya pasti cerita. Musik pasti ada lirik juga toh? Dan di sini nilai sosialnya. Ada beberapa lagu di album pertama dan kedua yang sangat sarat akan kisah-kisah hilangnya aktivis yang membangkang pada Soeharto. Seperti kisah Munir yang mati tanpa pernah selesai diusut, pada lagu Di Udara. Dari sini kita bisa mendengar kata-kata, “Ku bisa diracun di udara.” Meski begitu, Cholil tetap menggambarkan sosok Munir yang tak pernah padam. Akan ada pejuang-pejuang HAM lainnya yang muncul dan memperjuangkan HAM seperti Munir.

Kehidupan urban dan sosialita Jakarta pun dikupas habis oleh Efek Rumah Kaca. Tanpa takut ada pencekalan atas mereka, mereka tetap bersuara selayaknya Iwan Fals. Mungkin karena mereka berkiblat pada Iwan Fals maka warna musik mereka pun menjadi seperti itu. Saya sampai tercengang kala mendengar beberapa kondisi lirik yang menggambarkan kebebalan atas sistem pemerintahan. Betapa rakyat telah dibuat kecewa dengan sistem yang terus berganti tanpa pernah ada hasil menepi. Sistem yang terus mencekik rakyat dan membunuh mereka pelan-pelan.

Saya maklum kalau Efek Rumah Kaca ini memiliki banyak penggemar. Mulai kalangan mahasiswa sampai kalangan aktivis yang idealis. Begitu banyak pesan moral dan sosial yang bisa kita dapatkan dari lagu-lagu Efek Rumah Kaca. Kata-kata Kurt Cobain bahwa, “Music comes first, lyric comes second,” seakan tak berlaku bagi Efek Rumah Kaca. Dari segi musik, mereka seratus persen juara dan dari segi lirik dua kali lipatnya. Saya tak habis pikir, bagaimana mereka bisa menjadi aktivis dan dalam satu waktu yang sama, mereka menjadi seniman pula. Mungkin memang beginilah cara yang paling tepat untuk menyuarakan dan memperjuangkan suatu hak, dengan seni. Cara barbar sudah tak laku lagi saat ini! Sudah tak dilirik lagi!

***

Kita mengenal begitu banyak jenis musik yang mengakar dari blues. Musik seperti jazz, classic, folks, rock ‘n roll, reggae, bahkan grunge benar-benar mengakar dari blues. Sedangkan, Efek Rumah Kaca menyebut diri mereka trio pop-minimalis. Padahal, yang saya lihat, semua unsur yang lahir dari blues, ada semua dalam diri Efek Rumah Kaca. Kalau mereka bisa menyebut pop-minimalis, berarti mereka sedang berupaya untuk mengembalikan musik pop atau populer ke dalam jalur yang benar. Dari semula pop-Melayu yang mendayu-dayu dan membuat mual, kembali pada jalur musik yang enak didengar dan nikmat dicerna dari segi kata-kata.

Saya pun sekarang sudah menanggalkan atribut grunge dan sikap vandalis yang dilahirkan dari genre tersebut. Meski tak bisa dipungkiri bahwa saya lahir dan bermain gitar distorsi ala grunge, saya sudah jatuh hati dengan pop-minimalis ini. Musik yang minim distorsi dengan maksimum teknis, saya temukan dalam Efek Rumah Kaca.

Ah, entahlah. Saya benar-benar tak bisa berkata banyak jika membahas Efek Rumah Kaca. Cukup dengarkan dan bersiaplah untuk tercengang. Seluruh kondisi dan realita Indonesia, ada di sana.




"Ingin ikut berkontribusi sumbang tulisan? Baca halaman Undangan Berkontribusi".
Ikuti kami di twitter @anggurtorelli, dan halaman facebook Anggur Torelli

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...