Oleh: Ayu Welirang
Arswendo Atmowiloto |
Saya agak kesal dan bebal setiap
membuka situs yang berisi pencerahan diri atas karya-karya terbaik di bumi ini.
Situs itu bertajuk Anggur Torelli dan seakan memabukkan, saya pun memaksa diri
untuk mengisahkan pencerahan yang saya dapat atas sebuah buku. Para penulis di
sana boleh berbangga hati dan bersukacita karena karya John Steinbeck, saya pun
akan mematahkan humor Steinbeck itu dengan humor lokal, Arswendo Atmowiloto.
Ada yang mau mengusir saya dari situs
ini? Silakan. Saya tak gentar. Saya pun seratus persen yakin, kendati salah
seorang dari pencetus Anggur Torelli membaca salah satu karya Arswendo,
serta-merta humor satirnya akan menyusup pula. Seperti halnya mereka yang telah
membuat saya iri setengah mati karena tak satu pun karya John Steinbeck yang
saya miliki. Suatu saat nanti, saya pasti akan mendapatkan Dataran Tortilla,
entah bagaimana caranya. Mungkin dengan memfoto kopi juga? Tak apalah disebut
menurunkan harga diri, daripada merogoh kantong celana terlalu dalam di akhir
bulan yang serba paceklik ini. Hehe.
Saya tidak akan membahas Steinbeck,
tentu saja. Biarkan mereka dengan kesenangan masing-masing dan saya pun akan
menebarkan kesenangan saya terhadap buku. Saya mulai mengumpulkan buku yang
bermacam jenisnya sejak lulus SMP. Kala itu, saya membutuhkan banyak referensi
agar saya bisa diterima dengan baik di salah satu STM ternama di Bandung. Saya
berusaha keras menelan semua isi materi dalam buku-buku termasuk kisah fiksi
yang bermuatan sains. Saya sampai menghabiskan tiga buku Supernova karya Dewi Lestari selama dua hari berturut-turut. Tak mandi,
bahkan keluar kamar dengan semrawut. Dan hasilnya, saya bisa masuk sekolah itu,
meski tak ada satu pun muatan sains dalam soal-soalnya. Hanya semacam psikotes
dan saya tak merasa rugi karena kurangnya jam tidur yang disebabkan oleh
buku-buku itu.
Selama bersekolah di STM empat tahun
itu, semakin luas dunia yang saya lihat. Semakin banyak pula buku yang saya lahap.
Mendekati ujian nasional, saya malah semakin giat mengkoleksi buku fiksi dan
literatur. Di masa-masa itulah saya mulai bercengkrama dengan seorang Arswendo
dan kegilaannya menulis humor-humor satir.
Seperti yang dikatakan Arswendo,
kegilaan menulis pun pelan-pelan merasuki saya. Beberapa cerita pendek dan esai
opini yang saya tuliskan, sempat dimuat oleh harian Pikiran Rakyat. Tak berlangsung lama memang, karena beberapa bulan
setelahnya, saya bertolak ke Jakarta untuk memenuhi panggilan magang dengan
kontrak enam bulan. Saya tak merasa sedih, karena saya pasti akan kembali lagi
ke kota Bandung tercinta. Tapi, nyatanya saya mendapat kontrak kerja yang
lebih, sehingga harus menetap kembali selama satu tahun di Jakarta.
Saya mulai tak karuan. Koleksi buku yang
hampir memenuhi kamar berukuran tiga kali lima meter itu mendadak tak ada. Di
kamar kos saya yang lebih luas dari itu, malah sepi. Lengang dan terkesan agak
mencekam karena kekosongannya. Saya mulai gila lagi dan mulai mencari toko-toko
buku di dekat kos agar bisa mengisi kekosongan kamar. Mulailah saya mengisi
kamar dengan buku-buku Arswendo yang saya dapatkan dalam bentuk cetak ulang
dengan harga yang tak bisa dimungkiri, sangatlah tinggi. Tak lupa saya membawa
serta buku-buku di Bandung ketika mudik dan penuhlah sudah kamar kos saya. Saya
pun bertambah senang karena kerap kali mengunjungi toko buku bekas bernama
“Guru Bangsa” yang namanya sekilas mengingatkan kita akan sosok Gus Dur. Toko
buku ini berada tepat di belakang halte busway Pondok Pinang dan dengan cepat
menjadi tempat saya nongkrong sambil berkontemplasi sepulang kerja.
Karena Mbah Arswendo, saya tak hanya
membaca tetapi menulis juga. Berkali-kali mendapat cerca dari penulis berbakat
di situs hijau kemudian dot com, saya tak jera. Saya menulis lagi sampai
mendapatkan sisi yang paling tepat dari tulisan saya, entah sajaknya, entah
esai, maupun cerita pendek yang saya buat. Dan kira-kira beginilah hasilnya,
seperti tulisan ini. Tak melulu narasi dan lebih kepada deskripsi. Saya masih
tak puas, dan saya terus mengeksplorasi.
Banyak teman saya yang mengatakan bahwa
saya ini gila. Gila membaca, gila menulis, bahkan kadang kala bisa lupa perut
sendiri ketika sedang membaca. Kalau mereka mendengar suara perut saya di
tengah-tengah kuliah ekstensi hari Sabtu, pasti mereka akan merebut buku yang
saya baca dan menarik saya segera, ke kantin. Mereka sembunyikan buku saya dari
pandangan dan menjauhkan segala buku yang ada. Bahkan, selebaran pemilihan
ketua FORKOM yang baru pun mereka hilangkan dari pandangan. Pasalnya, saya ini
kelewat senang membaca. Apa saja bisa saya baca, termasuk tulisan di depan
mobil truk maupun angkutan kota.
Novel 3 Cinta 1 Pria |
Kali lain, teman saya mengatakan kalau
saya ini sudah benar-benar di ambang kegilaan menulis. Dan kala itu, saya hanya
mengutip kata-kata Arswendo dari buku 3
Cinta 1 Pria yang fenomenal, “Banyak yang bilang saya ini gila. Gila
menulis. Ini mendekati benar, karena kalau tak menulis saya pastilah gila. Dan
karena saya gila, maka saya menulis.” Teman saya hanya melongo dan segera beranjak
dari kursinya dan memutuskan untuk tidak mengobrol dulu beberapa hari
berikutnya dengan saya yang skeptis karena buku ini.
Membaca karya-karya Arswendo saya jadi
mengerti akan hakikat sebuah kesederhanaan. Dengan tangkas dan cermat, Arswendo
bisa begitu mudahnya bercerita tentang pohon talok dan ikan-ikan lele di
empang. Berangkat dari kesederhanaan dan berakhir dengan kesan. Kisah-kisahnya
memang sebagian besar berbau roman, roman sederhana untuk keluarga. Seperti
kisah sinetron Keluarga Cemara yang
sangat mengena bagi saya maupun beberapa anggota keluarga saya. Hampir setiap
hari, kami menonton itu dan tak henti-hentinya bersyukur atas harta yang paling
berharga, keluarga.
Roman juga tak melulu polemik cinta
antar sepasang kekasih. Dari sinilah saya memaknai roman secara berbeda. Kisah
sekecil apapun, seperti kecintaan pada pohon talok maupun ikan lele di empang,
bisa jadi sebuah roman. Saya hanya bisa berkata, “Gila! Arswendo Atmowiloto
sangatlah gila!” Mana mungkin ada orang waras yang masih bisa berpikiran segila
ini dan menulis kisah cinta dari balik jeruji besi sebagai tahanan orde baru?
Hanya sedikit orang yang bisa, di antaranya Pramoedya dan Arswendo.
Saya jadi semakin yakin kalau saya pun
sudah mendekati gila. Dan yang menyelamatkan saya dari gila ini adalah pembenaran
dari seorang Pramoedya, “Orang boleh pintar setinggi langit. Tapi, jika ia
tidak menulis, maka ia akan dilupakan oleh sejarah dan oleh waktu.”
Saya rasa, saya akhirkan dulu kisah
tentang kegilaan ini karena akan sangat mungkin sekali jika kisah ini jadi
melebar kemana-mana. Saya mengagumi karya Arswendo tapi saya pun tak menolak
jika ada salah satu dari kalian yang masih mau meminjamkan saya Steinbeck. Jadi
bagaimana? Adakah yang mau meminjamkan saya buku John Steinbeck?
"Ingin ikut berkontribusi sumbang tulisan? Baca halaman Undangan Berkontribusi"
Mengatakan blog ini sebagai tempat pencerahan diri, merupakan klaim sepihak. Faktanya, pasca membaca "Dataran Tortilla", pikiran saya kian rumit tak karuan. Hehehe
BalasHapusTak apa kok dikatakan sepihak, karena memang hanya saya yang menilai begitu. Persepsi yang lain mungkin bisa berbeda lagi. Hahaha. :D
HapusWow. Pake komentar aktif disqus yaaa. :D Tapi sayang, saya pernah menghapus kotak komentar macam ini karena sulit loading di platform selain chrome dan firefox. :D Just giving an advice, enakan pake intensedebate daripada disqus looohh. :3
BalasHapusHah, baru pasang udah terima kabar buruk? Terima kasih advisnya. Tapi nanti-nanti aja deh gantinya. Capek. Hehehehe
BalasHapusTerima kasih sudah mampir. Oke, kami cek blognya.
BalasHapusBukan kabar buruk, cuma sedikit isu teknis yang mungkin sudah dipecahkan oleh para pengembang mode komentar ini. Mungkin javascript atau level flashplayer sudah diperbaharui. :)
BalasHapus