Oleh: Asep Sofyan
John Steinbeck, penulis Dataran Tortilla |
Pada lembar pertama buku Dataran Tortilla
yang saya koleksi, tercatat dalam guratan pensil deretan angka: “4.000”, di
bawahnya “30%”, dan di bawahnya lagi “2.800”. Di halaman berikutnya: “160701”, di
bawahnya “BF 2001”.
Apa artinya? Artinya, buku Dataran Tortilla
dibeli dengan harga 2.800 Rupiah tanggal 16 Juli 2001 pada ajang Book Fair di Jakarta tahun 2001.
Saya tidak ingat apakah waktu itu saya sudah
tahu tentang John Steinbeck. Sepertinya sudah, setidaknya pernah mendengar
namanya. Tapi jika belum, berarti yang menggiring saya membeli buku tersebut
tentulah karena di sampul belakang tercatat keterangan bahwa John Steinbeck adalah
peraih nobel (tahun 1962). Lagi pula harganya cukup terjangkau. (Ukuran harga
obral sekarang mungkin sekitar 10 ribu atau 15 ribu).
Buku Dataran Tortilla yang saya beli
diterbitkan oleh Pustaka Jaya, cetakan pertama tahun 1977. Penerjemahnya
Djokolelono. Hasil terjemahannya sangat oke, terasa dari betapa enaknya buku
itu dibaca dan alangkah mudahnya dipahami, bahkan hingga humor-humornya yang
paling satir. (Ketika beberapa tahun kemudian saya menemukan terjemahan versi
Pramoedya Ananta Toer, saya dan Ahmad Makki, kawan sekamar sewaktu tinggal di
Sedap Malam, Ciputat, berspekulasi bahwa mungkin saja terjemahan Pram kalah
asyik. Karena Pram, sebagai sastrawan dengan level yang kira-kira setara dengan
Steinbeck, kami curigai akan memasukkan banyak penafsirannya sendiri ke dalam
karya).
Bahwa pada tahun 2001 saya masih mendapati
cetakan pertama tahun 1977 dengan harga obral, artinya novel ini tidak laku
dijual. Cukup ironis, tapi sisi lain saya bersyukur.
Bicara soal minimnya penjualan, saya tidak yakin
apakah itu ada hubungannya dengan nama Steinbeck yang relatif kurang dikenal di
Indonesia, khususnya oleh generasi setelah tahun 70-an. Dibandingkan dengan
Ernest Hemingway, sepertinya Om John kalah populer. Bukan hanya di Indonesia,
tapi juga di dunia dan di negaranya. Tapi itu tidak berarti karya Ernie lebih
laku. Barangkali nasib buku-buku sastra, sebagian besar, memang seperti itu.
Sedikit tentang Ernest Hemingway, saya mendapati
resepsi para esais yang lebih ramai dan penuh pujian terhadapnya daripada
terhadap John Steinbeck. Namun setelah membandingkan beberapa novel Ernie dan
John, saya jadi heran: novel Ernie tidak membuat saya bahagia. Karyanya yang pertama
saya baca, Pertempuran Penghabisan, hampir setahun baru saya tamatkan. The
Old Man and The Sea pun lama sekali selesainya, padahal pendek. Begitu pun
cerpen-cerpennya, nyaris tidak ada yang mengesankan. Kawan saya Ahmad pun mengaku
merasakan hal semacam.
Saya tak mencatat kapan persisnya novel Dataran
Tortilla saya baca pertama kali, tapi tahunnya masih sama dengan tahun pembelian.
Begitu membacanya, saya sadar ini adalah kisah yang karakter-karakternya akan terus
terngiang-ngiang dalam pikiran. Di kemudian hari, terkadang muncul alter ego saya
sebagai sejenis orang yang suka ketawa sendirian. Makanya saya membacanya lagi
dan lagi, mungkin hingga lima balikan, walaupun pembacaan berikutnya tak selalu
seturut urutan halaman.
Dari Dataran Tortilla yang menyenangkan,
saya beranjak ke karya-karya lainnya dari Om John, yaitu Canery Row yang
menghibur (pada tahun 2002), Amarah (terjemahan Grapes of Wrath)
yang dahsyat (2003), The Pearl yang simpel (2003), dan Of Mice and
Man yang mengharukan (tamat dalam sehari, 16 Juni 2006).
Jika akhir-akhir ini Ahmad kerap memprovokasi
kawan-kawan nongkrongnya untuk membaca Dataran Tortilla, saya pun telah
melakukan ini sebelumnya, meski tak “sememaksa” dia. Saya ingat ada seorang
kawan saya di Cabang HMI yang kerap berdiskusi dengan saya selepas membaca
karya John Steinbeck dan karya sastra lain. Dan jika saya tidak kegeeran,
sepertinya Ahmad pun merupakan salah satu hasil dari dakwah saya, meski hakikatnya
dia tidak memerlukan itu.
Kembali ke buku Dataran Tortilla, secara
fisik, saya tidak berhasil menjaganya dari kreativitas para kutu buku yang
membuat jalur-jalur melingkar dengan pola-pola aneh mirip bekas pendaratan
pesawat UFO di persawahan. Sampai sekarang, saya kira jasad-jasad renik mereka masih
awet dan beranak-pinak di sana, sebab seiring waktu hasil karya mereka semakin
unik dan menakjubkan. Sekaligus memprihatinkan.
Baiklah, kawan-kawan paisanos, pendek saja
catatan saya yang pertama ini. Semoga catatan berikutnya bisa bahas isi. Mohon
maaf karena saya tidak menulis dengan gaya mirip Steinbeck di Dataran
Tortilla, seperti yang kawan-kawan pamerkan pada esai-esai lain di Blog Anggur Torelli. Saya merasa hidup saya terlalu
serius akhir-akhir ini. Saya tahu, saya perlu mereguk lebih banyak lagi anggur-anggur
bermutu seperti Dataran Tortilla ini. Salam damai.
"Ingin ikut berkontribusi sumbang tulisan? Baca halaman Undangan Berkontribusi"
Ikuti kami di twitter @anggurtorelli, dan halaman facebook Anggur Torelli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar