Oleh: Ahmad Makki
Dataran Tortilla cetakan lama |
Bertahun-tahun lalu, ketika masih mahasiswa, saya sempat tinggal
di kos yang lumayan luas, namun terlihat mau ambruk. Temboknya dekil dan retak
di sana-sini. Kusen-kusennya rusak diserbu rayap. Di kamar depan, papan
langit-langitnya ambrol entah sejak kapan. Dugaan saya, para nyamuk pun sedikit
tersinggung, lantaran mereka bebas keluar masuk tanpa kami beri tantangan
berarti.
Tapi jangan buru-buru jatuh kasihan. Banyak hal menyenangkan yang
saya alami di tempat itu. Salah satunya adalah akses tak terbatas pada koleksi
salah satu teman sekos saya, Asep Sofyan. Ia seorang pengumpul buku pilih tanding.
Buku-bukunya memadati kamar karena empat lemarinya tak mampu lagi menampung.
Itu baru sebagian. Di kampungnya ia membuka penyewaan buku. Seingat saya yang
tak pernah saya jumpai dari koleksinya hanya perihal resep masakan.
Saban hari saya bangun ketika kos telah lengang. Ini merupakan
kelaziman yang sudah diterima oleh kelima penghuni kos tanpa banyak perdebatan.
Saya dengar Immanuel Kant mampu mengulang rutinitasnya dengan tepat waktu. Para
tetangga bisa menduga pukul berapa ketika Kant lewat. Saya kira kami hampir
semodel. Saban bangun tidur, saya bisa menduga, bahwa tak lama lagi masjid di
sebelah bakal meneriakkan azan zuhur. Ini tentu bakat yang tak bisa dipunya
sembarang orang.
Hari itu, seperti kebanyakan hari lainnya, saya bangun dan bersikeras
untuk tak buru-buru mandi. “Lebih asyik menggeledah koleksi Asep,” pikir saya.
Sebuah buku tua saya loloskan dari barisannya di lemari. Tampangnya yang lecek
dan beberapa lembar yang bolong dikerjai rayap-rayap vandalis, bikin saya agak
mencurigai Asep. Mungkin karena banyak teori dan imajinasi yang dimamah,
membuat pikirannya agak terganggu. Masak ia lebih memilih buku gembel begitu
disimpan baik-baik, ketimbang koleksi lain yang lebih baru.
Dataran Tortilla judul buku lusuh
tersebut. Nama John Steinbeck, pengarangnya, tentu tak terlalu dikenali orang
macam saya yang sekadar berteman dengan pengoleksi buku. Saya membacanya sambil
tiduran. Ceritanya menyentuh tapi tak melankolis. Humor-humornya mengejutkan.
Beberapa kali saya berguling untuk menghilangkan penat, tahu-tahu novel itu
telah sampai di halaman terakhir. “Edan!” desis saya. Kagum saya tak habis
berjam-jam setelahnya. Djokolelono yang menerjemah novel ini pun layak
dikalungi medali.
Berhari-hari saya berpikir, kok ada yang mampu menulis seperti
Steinbeck? Berhari-hari juga saya kerap ketawa tiba-tiba. Saya tak terlalu
khawatir orang berpikir macam-macam. Kawan-kawan sudah mafhum kok kalau saya
bisa mendadak sinting. Saya ingin sekali menjelaskan Dataran Tortilla pada
setiap teman yang belum membaca. Tapi meminjam buku Asep untuk diedarkan, tentu
kelewat berisiko. Sedang menceritakan kembali pun mustahil, karena kemampuan
bahasa yang terbatas? Kalau bisa, mending saya bikin karya
yang sama bagusnya.
Seumur hidup saya belum pernah ketemu orang yang membenci humor.
Saya sendiri pemuja humor habis-habisan. Mengingat tak banyak hal penting yang
saya tahu, maka humor jadi satu-satunya modal saya buat berteman. Namun
bagaimana kalau ada humor dahsyat yang sulit kita ceritakan pada orang lain?
Saya kira tak banyak penderitaan lain yang menandingi kesepian model begini.
Dataran Tortilla cetakan baru |
Maka tahun demi tahun saya disiksa persoalan yang sama. Sampai
suatu hari saya temukan solusi praktis. Dataran Tortilla ternyata
dicetak ulang. “Eureka!” teriak saya
dalam hati, sambil menggondolnya sebiji dari toko buku. Tentu (sumpah demi
Allah) setelah membayar kontan. Mengoleksi buku ini tentu sebuah kewajiban.
Namun mengedarkan pada orang lain buat membacanya juga tak kalah penting. Saya
tentu tak rela bertahun-tahun disiksa humor yang demikian sableng sendirian.
Tapi kehendak kadang memang ibarat jauh panggang dari api. Manusia
boleh berencana, Tuhan jua yang menentukan (asem, siapa yang iseng memasukkan
kalimat ini?). Tanggapan teman-teman tak seperti yang saya kira. Setelah
berbulan-bulan, satu-satunya yang bersedia melahap novel ini cuma pacar saya
seorang. Karena jarak, kami sulit bertemu sering-sering. Sebetulnya dengan
kemajuan teknologi kami bisa berbagi kelucuan novel ini. Tapi tak sopan
membicarakan humor seagung ini lewat sms, telepon, atau dinding facebook. “Ini
tidak adil,” rutuk saya suatu kali dalam hati.
Harapan kembali menyala ketika saya bertemu Abi, kawan saya yang
setengah koleksi bukunya pernah membuat sebuah mobil pick-up tertatih-tatih
membawa. Ia bersedia saya pinjami Dataran Tortilla. Namun perkiraan
saya meleset. Beberapa minggu berselang, ia mengaku baru membaca sebagian
kecil. Sampai novel itu kembali ke tangan saya, ia tak menunjukkan gelagat
kesintingan seperti yang saya alami. Harapan saya pun kembali meleleh.
Namun Tuhan memang selalu ingat pada hamba yang sabar. Ia kerap
bekerja lewat cara yang rahasia. Hal yang terlewat dari pengetahuan saya adalah
sebuah peristiwa ketika Abi masih meminjam Dataran Tortilla. Kisah
ini pun baru saya ketahui jauh-jauh hari.
Di suatu malam, sepulang dari suatu tempat Abi membaca Dataran
Tortilla. Namun niatnya dikalahkan oleh lelah. Ia tertidur di tengah
membaca. Saat itulah muncul Abdullah Alawi, pemuda yang memuja sastra kelewat
tinggi. Beberapa kali ia memang sempat mendengar Dataran Tortilla lewat
provokasi saya. Malam itu akhirnya mau tak mau ia membacanya, lantaran tak tahu
lagi harus apa. Sontak Alawi langsung paham apa yang saya rasakan
bertahun-tahun.
Beberapa waktu berselang, saya dan Alawi bertemu. Awalnya ia tak
mau cerita. Namun lantaran seorang teman “menyerempetnya” terus-terusan,
akhirnya ia membuat pengakuan tulus kepada saya perihal Dataran
Tortilla. Alawi selalu berbicara soal “mengawetkan kenangan” saban melihat,
membaca, atau mendengar karya hebat. Setelah membaca Dataran Tortilla ia
mengaku tak berani membaca buku untuk jangka waktu tertentu. Ia ingin novel
tersebut melekat sempurna dalam ingatannya sebelum diinterupsi hal-hal baru.
Sesungguhnya lewat kerja Tuhan yang rahasia juga, jika setelah
Alawi membaca obrolan soal Dataran Tortilla cepat menyebar ke
teman-teman lain. Satu kali saya dengar seorang teman berkeliling ke beberapa
toko buku untuk mencarinya. Lain waktu, saya tahu bahwa sudah ada yang sempat
memfoto kopi koleksi saya tersebut. Sungguh ini bukan jasa Alawi.
Berkat kejadian-kejadian di atas saya tak lagi canggung menyebut
nama-nama seperti Danny, Pilon, Pablo, dan lainnya, saat berkumpul dengan
teman-teman. Bukan salah saya jika sekarang teman-teman kerap tertawa tanpa
dipahami orang lain apa sebabnya. Pokoknya, segala gangguan sosial yang
diakibatkan oleh kami, seperti berisik di malam hari, membuat orang lain
terbengong-bengong mendengar tawa kami, itu tanggung jawab John Steinbeck
semata. Kami hanya korban.
Sejak itu hidup saya lebih tenang. Saya tak lagi merasakan putus
asa untuk menjelaskan hal yang terus menghantui pikiran saya bertahun-tahun.
Siang dan malam. Andai saya mati di kemudian hari, saya bisa menghadapinya
baik-baik.
Puluhan tahun kemudian, kisah ini mungkin dianggap semacam cerita
rakyat yang tak jelas asal-usul dan kebenarannya. Para peragu mungkin juga
menganggap ini sekadar strategi promosi murahan sebuah penerbit buku. Karenanya
saya bergegas menulisnya, agar semua bisa melihat langsung bukti otentik kisah
ini (Entah siapa yang memasukkan paragraf yang jelas-jelas dicuri dan
dimodifikasi dari pembuka Dataran
Tortilla ini?).
"Ingin ikut berkontribusi? Kirim tulisan anda ke surel: anggurtorelli[at]gmail[dot]com"
aku menyimak seseorang begitu suka mennceritakan pablo dkk.
BalasHapusTerima kasih sudah menyimak, Saudara Anonim. Bagaimana kalau anda ikut berkontribusi?
Hapusini, bukan sekadar menceritakan, saya kira.
BalasHapusKalau Saudara meragukan, silakan diungkapkan dalam artikel
HapusJadi penasaran menarik dimananya tuh bacaan. Ini penulis artikel kudu tanggung jawab gimana caranya aku bisa baca!
BalasHapusHahahahahaha...saya suka nih tulisan begini. Lucu...
BalasHapusWah, terima kasih. Selamat menikmati, Saudara/i Anonim
BalasHapus