19 Mei 2012

Membuka Daun Telinga lewat “Tortilla Flat”

Oleh:  Alhafiz Kurniawan *
Tortilla Flat


Kalau saudara punya niat membaca Tortilla Flat, novel karya John Steinbeck, saya sarankan untuk siapkan diri lahir dan batin. Tegasnya, sebelum membuka helai demi helai karya ini, saya punya usul agar saudara menyingkirkan jauh-jauh barang-barang mudah pecah apalagi pemberian kekasih, anak kecil, atau gelas yang berisi air.

Saya tidak mau turut menanggung kalau kucing peliharaan akan tersepak dua meter dari jangkauan lantaran saudara tertawa geli minta ampun. Milik saudara atau tetangga, kucing peliharaan harus tetap terpelihara. Mungkin peliharaan saudara akan bingung apa pasal majikannya atau tetangga majikan begitu riang sampai lalai pada binatang manja. Pindahkan jemuran kering atau setengah kering ke tempat teduh bilamana saudara memanggangnya dalam dekapan matahari. Kalau malam hari, sebaiknya saudara tutup yang mesti ditutup. Ini berlaku pada apa saja. Jendela mesti rapat. Satu ini penting, salah-salah buatan, tetangga sebelah yang tengah sakit gigi tidak segan-segan melempar gelas ke dalam kamar saudara. 

Dua kali sudah saya membaca Tortilla Flat, novel John Steinbeck. Ia berkisah tentang sekawan yang tergabung dalam pelbagai pengalaman keseharian. Mereka memahami kehidupan secara ringan, tanpa beban membandul di kepala. Butuh kelapangan dada yang meng-ablak untuk membaca karya ini. Negative capability, kata orang-orang sastra. Daya menanggalkan nilai sejenak yang melekat dalam diri agar harga diri saudara yang paling berharga itu tidak menjadi taruhan murah kala membaca.

Tanpa kearifan tinggi, saudara akan geram melihat tingkah konyol tapi bersahaja kawanan berandal Monterey. Meski menahan geram, pihak pembaca novel ini tentu kadang akan terpancing untuk tergelak. Bayangkan saja, bagaimana bisa kawanan ini menyanyikan lagu gembira untuk kematian Danny, kawan dekat mereka melebihi kedekatan ombak dengan gelisahnya. Lagu sedih sempat tercetus, tetapi mengingat Danny lebih menyukai lagu gembira kala hidupnya, kawanan menggemaskan ini menyanyikan lagu gembira dengan semangat untuk merayakan masa berkabung.

Dalam kesehariannya, mereka hampir selalu menawarkan logika di luar nilai yang dipeluk kebanyakan orang baik erat atau setengah longgar. Akal, tipu daya, kegelisahan, saran kawan-kawan, perkelahian tanpa alasan serius, nasionalisme yang tumbuh seiring tegukan anggur, pencurian potongan daging babi atau roti, bujukan halus tanpa ampun, pujian menipu, makian telak, mengisi catatan harian kawanan ini.

Dari Tortilla Flat, saya mengingat kembali karya-karya lain yang memiliki jiwa kurang lebih mirip. Alhikam karya Ibnu Athaillah misalnya. Saya mengaji kitab ini lewat dua kiai maha hebat di Jakarta. Satu terkenal dan sudah meninggal, dan satu tidak mau dikenal selagi masih hidup. Keduanya sama dahsyat. Alhikam kerap membuat logika saya menungging tersungkur telak. Bagaimana mungkin ‘sebut Tuhan lebih besar’ yang kerap dipahami bahwa zikir manusia menyebut nama Tuhannya sebagai perkara luar biasa, dibalik menjadi zikir-Nya menyebut nama hamba-Nya justru perkara luar biasa? Lepas hamba-Nya menunduk dengan ketentuan syariat atau tidak.

Pemahaman seperti ini bukan saja perkara sulit bagi saya. Ini juga dapat menyentak amarah kebanyakan orang. Berhubung kebanyakan orang lagi demam zikir. Bahkan, mereka melembagakannya dalam mejelis-majelis yang belakangan tumbuh banyak laiknya dealer-dealer motor Jepang. Pasal banyaknya dealer, bukan urusan saya. Tetapi kalau Alhikam dengan caranya demikian membuat mereka marah, saya harus menarik siapa untuk bertanggung jawab?

Cara memahami seperti ini saya pikir cukup ajaib mengingat jarang terpikir oleh kebanyakan orang. Bagaimana mungkin Tuhan mau menyebut nama hamba-Nya? Tetapi kalau Dia mau, apa hak saya untuk keberatan. Saya pikir-pikir, biar sajalah, itu maunya Dia kok. Namun logika semacam ini sudah saya terima dengan kedua tangan jauh-jauh tahun sebelum membaca Tortilla Flat.

Grup musik Led Zeppelin
Adapun yang baru adalah daun pintu telinga saya yang sontak dobrak terhadap musik klasik rock Barat era 1960-1970-an. Entah malaikat ganas apa yang mengirimkan guntur menyambar, benak saya langsung tertarik ke masa sekolah MTs silam. Saat sekolah di tingkat itu, saya bergaul bebas dengan kawan-kawan yang 15-20 tahun di atas saya. Selera mereka selain Iwan Fals, adalah klasik rock Barat. Dari mereka saya menelan dengan sedikit mengunyah The Beatles, Rolling Stone, Led Zeppelin, Deep Purple, Queen, Janis Joplin, Eric Clapton, Elton John, Aerosmith, Genesis dan sederetan musisi Barat lainnya.

Semua musik itu bisa saya dengar dengan cara mudah. Tekan kenop radio, geser gelombang untuk meraba 97.FM, stasiun radio yang murah hati memutar lagu-lagu klasik rock. Sejak 1998, saya tekun duduk di depan radio kadang sambil membawa sepiring nasi untuk makan malam. Dari semua musik yang masuk ke lubang kuping, saya mengidolakan The Beatles dan Rolling Stones. Dengan mengencangkan ban pinggang, saya menabung. Bukan atas anjuran guru atau orang tua, pula bukan untuk masa depan. Recehan yang masuk dari segala sumber, saya belanjakan untuk mengoleksi album kedua band itu.

Saat itu belum lagi ada yang namanya digital, jadi album masih dalam bentuk kaset pita. Hampir semua album kedua band raksasa itu, saya miliki. Namun begitu, selera musik saya lebih hampir kepada Rolling Stones. Band satu ini memiliki keunikan sendiri. Saya merasa masa kejayaan bermusiknya saat grup dengan vokalis bibir jebleh, Mick Jagger, masih didukung oleh Brian Jones. Ia musisi serba bisa, sanggup bermain gitar, sitar, gamelan, saksofon, harmonika dan sejumlah kepiawaian alat musik yang aneh-aneh.

Herannya, kuping ini belum bisa menerima permainan musik Led Zeppelin. Bagi saya Led Zeppelin, tak lebih dari aktor subversif yang mengacaukan irama musik belaka saat itu. Namun, usai membaca Tortilla Flat tahun lalu, telinga saya meng-gesrak-gesrak lagi dokumen musik Led Zeppelin. Sebelum mendengar ulang, logika dan perasaan saya sudah merengkuhnya. Ternyata, novel itu mengubah arah kompas penerimaan saya atas suguhan permainan Robert Plant, dan kawan-kawan. Bagaimana bisa seorang Jimmy Page membunyikan gitarnya dengan gesekan biola? Ia dengan gitar ampuhnya, kerap membuat kejutan-kejutan di luar terkaan.

Tetapi nasib sial menimpa saya laksana anak kucing tercebur di tubir telaga. Stasiun 97.FM yang tekun mengudarakan musik klasik rock, sudah mendarat. Entah mendarat di mana atau melampaui udara sehingga tidak lagi kedengaran dengusnya, saya tidak paham. Seingat saya, radio ini masih ingar-bingar saat saya duduk di bangku SMK tahun 2003. Berhubung kesibukan bertambah, saya tidak lagi mengikuti jejaknya sejak itu.

Meskipun kini saya tidak lagi dapat menikmati Led Zeppelin dari stasiun tersebut, itu tidak menjadi soal berat. Yang mau saya katakan, berandal Tortilla; Danny dan kawanannya, diam-diam menyelundupkan Led Zeppelin ke telinga saya. Saya yakin mereka menyelundupkannya tanpa izin, arahan, apalagi instruksi dari John Steinbeck, sang pengarang.

Ciputat, Sabtu, 6.21, 19 Mei 2012

Pelahap apa saja


"Ingin ikut berkontribusi? Kirim tulisan anda ke surel: anggurtorelli[at]gmail[dot]com"

1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...