Oleh:
Alhafiz Kurniawan *
Tortilla Flat |
Kalau saudara punya niat membaca Tortilla Flat, novel
karya John Steinbeck, saya sarankan untuk siapkan diri lahir dan batin.
Tegasnya, sebelum membuka helai demi helai karya ini, saya punya usul agar
saudara menyingkirkan jauh-jauh barang-barang mudah pecah apalagi pemberian
kekasih, anak kecil, atau gelas yang berisi air.
Saya tidak mau turut menanggung kalau kucing peliharaan akan
tersepak dua meter dari jangkauan lantaran saudara tertawa geli minta ampun.
Milik saudara atau tetangga, kucing peliharaan harus tetap terpelihara. Mungkin
peliharaan saudara akan bingung apa pasal majikannya atau tetangga majikan
begitu riang sampai lalai pada binatang manja. Pindahkan jemuran kering atau
setengah kering ke tempat teduh bilamana saudara memanggangnya dalam dekapan
matahari. Kalau malam hari, sebaiknya saudara tutup yang mesti ditutup. Ini
berlaku pada apa saja. Jendela mesti rapat. Satu ini penting, salah-salah
buatan, tetangga sebelah yang tengah sakit gigi tidak segan-segan melempar
gelas ke dalam kamar saudara.
Dua kali sudah saya membaca Tortilla Flat, novel John
Steinbeck. Ia berkisah tentang sekawan yang tergabung dalam pelbagai pengalaman
keseharian. Mereka memahami kehidupan secara ringan, tanpa beban membandul di
kepala. Butuh kelapangan dada yang meng-ablak untuk membaca karya
ini. Negative capability, kata orang-orang sastra. Daya
menanggalkan nilai sejenak yang melekat dalam diri agar harga diri saudara yang
paling berharga itu tidak menjadi taruhan murah kala membaca.
Tanpa kearifan tinggi, saudara akan geram melihat tingkah konyol
tapi bersahaja kawanan berandal Monterey. Meski menahan geram, pihak pembaca
novel ini tentu kadang akan terpancing untuk tergelak. Bayangkan saja,
bagaimana bisa kawanan ini menyanyikan lagu gembira untuk kematian Danny, kawan
dekat mereka melebihi kedekatan ombak dengan gelisahnya. Lagu sedih sempat
tercetus, tetapi mengingat Danny lebih menyukai lagu gembira kala hidupnya,
kawanan menggemaskan ini menyanyikan lagu gembira dengan semangat untuk
merayakan masa berkabung.
Dalam kesehariannya, mereka hampir selalu menawarkan logika di luar
nilai yang dipeluk kebanyakan orang baik erat atau setengah longgar. Akal, tipu
daya, kegelisahan, saran kawan-kawan, perkelahian tanpa alasan serius,
nasionalisme yang tumbuh seiring tegukan anggur, pencurian potongan daging babi
atau roti, bujukan halus tanpa ampun, pujian menipu, makian telak, mengisi
catatan harian kawanan ini.
Dari Tortilla Flat, saya mengingat kembali karya-karya
lain yang memiliki jiwa kurang lebih mirip. Alhikam karya Ibnu
Athaillah misalnya. Saya mengaji kitab ini lewat dua kiai maha hebat di
Jakarta. Satu terkenal dan sudah meninggal, dan satu tidak mau dikenal selagi
masih hidup. Keduanya sama dahsyat. Alhikam kerap membuat
logika saya menungging tersungkur telak. Bagaimana mungkin ‘sebut Tuhan lebih
besar’ yang kerap dipahami bahwa zikir manusia menyebut nama Tuhannya sebagai
perkara luar biasa, dibalik menjadi zikir-Nya menyebut nama hamba-Nya justru
perkara luar biasa? Lepas hamba-Nya menunduk dengan ketentuan syariat atau
tidak.
Pemahaman seperti ini bukan saja perkara sulit bagi saya. Ini juga
dapat menyentak amarah kebanyakan orang. Berhubung kebanyakan orang lagi demam
zikir. Bahkan, mereka melembagakannya dalam mejelis-majelis yang belakangan
tumbuh banyak laiknya dealer-dealer motor Jepang. Pasal banyaknya dealer, bukan
urusan saya. Tetapi kalau Alhikam dengan caranya demikian
membuat mereka marah, saya harus menarik siapa untuk bertanggung jawab?
Cara memahami seperti ini saya pikir cukup ajaib mengingat jarang
terpikir oleh kebanyakan orang. Bagaimana mungkin Tuhan mau menyebut nama
hamba-Nya? Tetapi kalau Dia mau, apa hak saya untuk keberatan. Saya
pikir-pikir, biar sajalah, itu maunya Dia kok. Namun logika semacam ini sudah
saya terima dengan kedua tangan jauh-jauh tahun sebelum membaca Tortilla
Flat.
Grup musik Led Zeppelin |
Adapun yang baru adalah daun pintu telinga saya yang sontak dobrak
terhadap musik klasik rock Barat era 1960-1970-an. Entah malaikat ganas apa
yang mengirimkan guntur menyambar, benak saya langsung tertarik ke masa sekolah
MTs silam. Saat sekolah di tingkat itu, saya bergaul bebas dengan kawan-kawan
yang 15-20 tahun di atas saya. Selera mereka selain Iwan Fals, adalah klasik
rock Barat. Dari mereka saya menelan dengan sedikit mengunyah The Beatles,
Rolling Stone, Led Zeppelin, Deep Purple, Queen, Janis Joplin, Eric Clapton,
Elton John, Aerosmith, Genesis dan sederetan musisi Barat lainnya.
Semua musik itu bisa saya dengar dengan cara mudah. Tekan kenop
radio, geser gelombang untuk meraba 97.FM, stasiun radio yang murah hati
memutar lagu-lagu klasik rock. Sejak 1998, saya tekun duduk di depan radio
kadang sambil membawa sepiring nasi untuk makan malam. Dari semua musik yang
masuk ke lubang kuping, saya mengidolakan The Beatles dan Rolling Stones.
Dengan mengencangkan ban pinggang, saya menabung. Bukan atas anjuran guru atau
orang tua, pula bukan untuk masa depan. Recehan yang masuk dari segala sumber,
saya belanjakan untuk mengoleksi album kedua band itu.
Saat itu belum lagi ada yang namanya digital, jadi album masih
dalam bentuk kaset pita. Hampir semua album kedua band raksasa itu, saya
miliki. Namun begitu, selera musik saya lebih hampir kepada Rolling Stones.
Band satu ini memiliki keunikan sendiri. Saya merasa masa kejayaan bermusiknya
saat grup dengan vokalis bibir jebleh, Mick Jagger, masih didukung
oleh Brian Jones. Ia musisi serba bisa, sanggup bermain gitar, sitar, gamelan,
saksofon, harmonika dan sejumlah kepiawaian alat musik yang aneh-aneh.
Herannya, kuping ini belum bisa menerima permainan musik Led
Zeppelin. Bagi saya Led Zeppelin, tak lebih dari aktor subversif yang
mengacaukan irama musik belaka saat itu. Namun, usai membaca Tortilla
Flat tahun lalu, telinga saya meng-gesrak-gesrak lagi
dokumen musik Led Zeppelin. Sebelum mendengar ulang, logika dan perasaan saya
sudah merengkuhnya. Ternyata, novel itu mengubah arah kompas penerimaan saya
atas suguhan permainan Robert Plant, dan kawan-kawan. Bagaimana bisa seorang
Jimmy Page membunyikan gitarnya dengan gesekan biola? Ia dengan gitar ampuhnya,
kerap membuat kejutan-kejutan di luar terkaan.
Tetapi nasib sial menimpa saya laksana anak kucing tercebur di
tubir telaga. Stasiun 97.FM yang tekun mengudarakan musik klasik rock, sudah
mendarat. Entah mendarat di mana atau melampaui udara sehingga tidak lagi
kedengaran dengusnya, saya tidak paham. Seingat saya, radio ini masih
ingar-bingar saat saya duduk di bangku SMK tahun 2003. Berhubung kesibukan
bertambah, saya tidak lagi mengikuti jejaknya sejak itu.
Meskipun kini saya tidak lagi dapat menikmati Led Zeppelin dari
stasiun tersebut, itu tidak menjadi soal berat. Yang mau saya katakan, berandal
Tortilla; Danny dan kawanannya, diam-diam menyelundupkan Led Zeppelin ke
telinga saya. Saya yakin mereka menyelundupkannya tanpa izin, arahan, apalagi
instruksi dari John Steinbeck, sang pengarang.
Ciputat, Sabtu, 6.21, 19 Mei 2012
"Ingin ikut berkontribusi? Kirim tulisan anda ke surel: anggurtorelli[at]gmail[dot]com"
mantep..
BalasHapusmatur nuwun..sudah share..