31 Mei 2012

Pemberontakan Ala Boombox Monger


Homicide
Saya mencintai musik lebih banyak daripada buku. Saya memang lahir di kalangan pemusik. Keluarga pemusik. Kala itu ayah masih dengan bangganya mempertahankan jazz fusion dari permainan gitarnya. Sedangkan saya lebih memilih jalan grunge underground ketika menjadi gitaris dan drummer sebuah band indie.


Saya mencintai musik sampai saya skeptis dan bisa saja jadi memarahi orang jika ada yang tak sependapat. Teman saya sering mengatakan itu. Katanya saya skeptis, apalagi jika sudah menyangkut musik dan buku. Entah kalau disandingkan dengan orang skeptis lainnya, mungkin saya bisa saja kalah. Tapi kalau sudah ada yang membantah saya, saya lebih banyak tak mau terima.

Musik saya tak berhenti di situ-situ saja. Berbagai jenis musik yang kuat dari segi lirik juga, sering saya bahas bersama beberapa teman pemusik di komunitas saya. Dan dalam kurun beberapa tahun terakhir -di samping membahas Efek Rumah Kaca- saya malah membahas salah satu grup musik yang sekarang ini sudah tak lagi tampil. Sudah vakum total. Sayang sekali padahal. Dan mungkin, kalau kalian mendengarkannya juga, kalian akan terkesima. Musik ini mengusung tema pemberontakan, sebuah orasi besar-besaran untuk menantang tirani. Musik ini membawa kita pada era tahun 90-an ketika musik alternatif yang tergerus hip-hop masih mendunia. Musik ini adalah pemberontakan ala boombox monger.

***

Mendengar boombox kita pasti ingat akan sebuah kotak besar yang dibawa musisi hip-hop kemanapun. Sebuah kotak musik yang bisa meledakkan apa saja dan membuat semua orang berjoget. Di jalanan, di pelataran gedung yang kapitalis, dan di depan tempat-tempat praktik kemaksiatan yang bisa dihancurkan begitu saja. Dan oleh grup musik satu ini, boombox menjadi kekuatan terbesar, di samping lirik-lirik yang sarat akan realisme sosial. Oh ya, saya belum menyebutkan nama grupnya sedari tadi. Kira-kira ada yang tahu tidak? Ada yang bisa menebak atau tidak?

Namanya Homicide. Grup musik ini digawangi oleh Ucok yang rajin sekali menulis catatan harian bak Soe Hok Gie, dan rajin sekali membaca buku-buku Salman Rushdie. Orangnya sangat kiri dan bawah tanah sekali. Pada masa Orde Baru, mungkin grup musik ini satu-satunya yang tidak diketahui, meskipun liriknya menyorot penguasa tiran pada masa itu.

Beberapa lagunya memang mengandung lirik yang sangat sulit dipikirkan oleh manusia pada umumnya, karena memang lebih menyerempet pada keindahan sastra yang dibalut realita. Seperti membaca jurnalisme sastrawi, mungkin seperti inilah kiranya gambaran dari Homicide.

Skeptisisme saya lahir dari mereka. Tak jarang saya jadi termotivasi juga untuk melakukan berbagai pemberontakan. Saya hanya bisa sampai berdemo saja, tidak benar-benar sampai memberi surat kaleng pada penguasa. Dan saya rasa Ucok sudah sampai tahap surat kaleng itu. Maka dari itulah, saya menelan bulat-bulat apa yang Ucok sebutkan dalam tiap lagu, karena memang benar begitu adanya. Tak perlu ada yang takut termanipulasi, karena Ucok melahirkan realita di dalam musiknya.

Soal musik, mungkin tak banyak yang bisa didapatkan masyarakat awam. Musik Homicide hanya terpaku pada beatbox dari mulut sendiri, dee-jay yang memutar-mutar piringan raksasa, dan hanya sebuah orasi kata-kata dalam bit seorang rapper. Itu saja. Tak ada gitar, tak ada melodi-melodi menyayat hati, dan tak ada dinamika. Dinamika lebih ditekankan dari permainan kata-kata Ucok dan orasi Ucok yang sangat membara.

Saya senang ketika mendengar ini. Ucok seperti membawa kita untuk ikut berteriak-teriak di tengah khalayak. Padahal, Ucok adalah pemusik, bukan orator seperti Bung Karno.

Yang membuat saya tak habis pikir, kenapa saya jadi mau-maunya mencari istilah-istilah asing dari lagu-lagu Ucok? Sepertinya saya sudah semakin gila saja akan keampuhan lirik Homicide dalam menantang tirani. Terlebih lagi, lagu-lagunya seperti Sajak Suara, Siti Djenar Chyperdrive, Barisan Nisan, Tantang Tirani, dan lagu-lagu lain telah mengawang-awang di pangkal pikiran saya. Seperti hendak meledak dan terus menyeruak dan berteriak. Lagu-lagu ini membuat saya bangkit berdiri dan harus menyadari akan satu hal yang tak mungkin lekang dari pemerintahan kita, sebuah feodalisme yang melekat.

Kita sudah dibentuk sedari kecil dengan mental feodal, dimana kita akan terus menjadi yang tersisih dari pemerintahan yang tiran. Mental ini pun sempat dibahas ketika seminar Reformasi Birokrasi yang sempat digelar pada 26 Mei lalu. Kala itu, saya hanya bisa tersenyum sinis menanggapi semuanya sambil berkata, “Cih! Memang busuk sekali doktrin reformasi birokrasi seperti ini!”

Sambil terus memegang teguh jiwa pemberontakan ala Homicide dan membuang jauh-jauh mental feodal, saya katakan bahwa saya ini termasuk orang yang sedemikian skeptis. Tak mengapa jika nantinya semua sifat saya ini akan runtuh seiring waktu. Yang jelas, selagi muda, saya akan menendang jauh mental feodal dalam diri agar tak melulu bisa dikalahkan oleh tingkatan-tingkatan sosial yang kadang membuat manusia terpecah belah.

Sebagai rakyat Indonesia, saya merasa satu dan saya merasa harus bersuara. Sebentuk sajak suara ini mungkin jadi jawabannya.

Sajak Suara - Homicide
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku

suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakan!

sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?

sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan


Bagaimanapun, meski Ucok dan Homicide berhenti berontak, saya tetap akan berteriak. Saya akan tetap begini dan skeptis seperti ini. Jiwa anak muda memang harusnya begini bukan? Saya pun tak akan rela jika harus berlama-lama menerima pahitnya tata cara “mereka” memerintah Indonesia. Ah entahlah, saya rasa konsumsi buku saya sudah kelewat batas.


---------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Ingin ikut berkontribusi sumbang tulisan? Baca halaman Undangan Berkontribusi"
Ikuti kami di twitter @anggurtorelli, dan halaman facebook Anggur Torelli

29 Mei 2012

Termotivasi Kuliah Gara-gara Chiken Soup



Chicken Soup for College Soul
Sastra adalah tema yang asing buat saya. Namun sejak membaca Blog Anggur Torelli, mengenal sastra seakan menjadi pekerjaan rumah (PR). Syukur-syukur jika nantinya sampai berbuah artikel tandingan dari cerita yang ditulis oleh Ahmad Makki, Hidup Saya Sejak Membaca Dataran Tortilla. Maklumlah selama ini saya hanya melahap buku-buku bertema motivasi, seperti Chiken Soup.

Perihal Chicken Soup, dulu saya pertama mendapati sebuah seri buku ini di barisan rak buku Iqbal, salah satu teman dekat saya. Penasaran, saya sambar bacaan tersebut dengan harapan dapat menjadi bekal saat kuliah sesuai dengan anak judul “For the College Soul” yang bertengger di sampulnya.

"Buku bagus itu,” Iqbal memprovokasi. Belakangan saya tak yakin dia sudah membaca dan memahami isinya. Buktinya saat saya ketagihan membaca dan berniat meminjamnya, dengan enteng Iqbal mengatakan, “bawa pulang aja". Di rumah, tak habis-habisnya saya membaca sambil mengagumi buku itu. Dua hari saya tersandera.

Setelah membaca, saya jadi ingat sebentar lagi ujian kelulusan sekolah. Saya selalu membayangkan untuk melanjukan pendidikan ke perguruan tinggi. Hal tersebut berusaha saya pendam karena kondisi ekonomi keluarga. Belum lagi menghitung jumlah saudara kandung saya cukup banyak dan juga butuh ongkos. Bahkan untuk membayar ongkos Ujian Nasional saya pun orangtua masih kebingungan.

Hampir setahun sebelumnya, sekitar tahun 2003, saat mulai masuk kelas III Aliyah, orangtua saya terpaksa datang ke sekolah demi minta keringanan SPP. Syukurlah permohonan ini dikabulkan. Bahkan saya dibolehkan tidak membayar SPP selama satu tahun. Syaratnya setiap awal bulan saya mesti mengambil nota bebas bayaran dari kepala yayasan, lalu meminta stempel lunas di kartu SPP kepada bagian Tata Usaha. Karena hal itu, di sekolah saya kerap merasa malu.

Tetapi sudahlah. Meski nanti tak bisa kuliah, paling tidak Chiken Soup berhasil membuat saya jadi tertarik lebih banyak membaca. Hampir setiap pulang sekolah saya berjalan kaki demi mengunjungi toko buku Gunung Agung, Bekasi. Kebetulan toko buku tersebut yang paling dekat dengan sekolah saya. Apalagi di sana pengunjung dibolehkan membaca buku-buku yang tak tersegel.

Suatu kali saya temukan majalah Higher Learning yang memuat artikel Kejar Beasiswa!. Majalah ini menjelaskan asal usul beasiswa, direktori beasiswa dalam dan luar negeri, serta untuk siapa diberikan. Kebetulan beberapa hari sebelumnya saya juga sempat ikut seminar dengan judul "Kemana setelah SMU?" Dua peristiwa ini membuat saya kembali percaya, saya bisa lulus dan melanjutkan kuliah asal mau berusaha.

Saat itu waktu pendaftaran Ujian Akhir Nasional (UAN) semakin dekat. Saya perlu biaya sekitar 800 ribu. Lewat petunjuk majalah di atas, saya berberniat mendatagi kantor sebuah lembaga sosial. Untuk pertama kalinya saya “pergi jauh” sendirian dari Bekasi. Saya susuri Jl. Ir. H. Juanda, Ciputat, mencari alamat yang dituju.

Kantor lembaga tersebut tak jauh dari UIN Jakarta, kampus yang kelihatannya baru dipugar besar-besaran. Saya terpikir untuk kuliah di sana. Tapi sekarang yang paling penting adalah mengajukan permohonan bantuan biaya. Saya masuk kantor lembaga sosial tersebut sambil membawa rincian biaya dari sekolah. Dari sana saya mendapat separuh dari jumlah kebutuhan (400 ribu). Sisanya dipenuhi orangtua.

Di sekolah, saya mengajukan permohonan ikut jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) untuk UIN Jakarta. Saat UAN selesai, saya mendapat peringkat pertama Jurusan Bahasa di sekolah. Ini tentu jadi pertimbangan kuat sekolah memprioritaskan permohonan saya. Impian pun terlaksana. Saya mengikuti ujian masuk di UIN Jakarta, dan berhasil lulus.

Tapi persoalan lain sudah menunggu. Dalam waktu satu minggu saya harus membayar uang masuk sekitar 2 juta. Tak terpikirkan sama sekali bagaimana saya bakal mendapat uang sebanyak itu. orangtua saya pun bingung. Usaha penebangan kayu dan pembuatan kusennya tengah sepi.

Maka selama tiga hari saya datangi beberapa lembaga sosial yang punya program pemberian beasiswa. Bahkan Dirjen Perguruan Tinggi (DIKTI) saya kirimi surat. Tapi semua lembaga sosial mengatakan, "tidak ada beasiswa untuk calon mahasiswa”. Program mereka ditujukan untuk mahasiswa semester dua sampai enam. Surat untuk DIKTI pun tak kunjung berbalas.

Pada petang hari ketiga pencarian, saya baru pulang ketika ayah memberikan uang senilai 2 juta. Saya tentu keheranan.

"Ini uang dari mana?"
“Jual tanah kontrakan yang 50 meter. Dapat 20 juta," kata ibu.

Air mata saya langsung tumpah seketika. Entah ini sebuah berkah atau cambukan. Yang pasti saya bisa melanjutkan pendidikan. Saya sadar orangtua telah berusaha semampu mereka bisa. Maka saya berusaha untuk tak lagi merepotkan. Selama di kampus, kegiatan mengejar segala sumber beasiswa rutin saya lakukan.

Sampai kapan pun tak mungkin saya lupakan usaha yang telah orangtua lakukan demi saya. Tapi saya juga akan selalu ingat bagaimana awalnya Chicken Soup membuat percaya, bahwa impian melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah bisa saya kejar.





"Ingin ikut berkontribusi sumbang tulisan? Baca halaman Undangan Berkontribusi"
Ikuti kami di twitter @anggurtorelli, dan halaman facebook Anggur Torelli

Dataran Tortilla: Buku yang Memprihatinkan




John Steinbeck, penulis Dataran Tortilla
Pada lembar pertama buku Dataran Tortilla yang saya koleksi, tercatat dalam guratan pensil deretan angka: “4.000”, di bawahnya “30%”, dan di bawahnya lagi “2.800”. Di halaman berikutnya: “160701”, di bawahnya “BF 2001”.

Apa artinya? Artinya, buku Dataran Tortilla dibeli dengan harga 2.800 Rupiah tanggal 16 Juli 2001 pada ajang Book Fair di Jakarta tahun 2001.

Saya tidak ingat apakah waktu itu saya sudah tahu tentang John Steinbeck. Sepertinya sudah, setidaknya pernah mendengar namanya. Tapi jika belum, berarti yang menggiring saya membeli buku tersebut tentulah karena di sampul belakang tercatat keterangan bahwa John Steinbeck adalah peraih nobel (tahun 1962). Lagi pula harganya cukup terjangkau. (Ukuran harga obral sekarang mungkin sekitar 10 ribu atau 15 ribu).

Buku Dataran Tortilla yang saya beli diterbitkan oleh Pustaka Jaya, cetakan pertama tahun 1977. Penerjemahnya Djokolelono. Hasil terjemahannya sangat oke, terasa dari betapa enaknya buku itu dibaca dan alangkah mudahnya dipahami, bahkan hingga humor-humornya yang paling satir. (Ketika beberapa tahun kemudian saya menemukan terjemahan versi Pramoedya Ananta Toer, saya dan Ahmad Makki, kawan sekamar sewaktu tinggal di Sedap Malam, Ciputat, berspekulasi bahwa mungkin saja terjemahan Pram kalah asyik. Karena Pram, sebagai sastrawan dengan level yang kira-kira setara dengan Steinbeck, kami curigai akan memasukkan banyak penafsirannya sendiri ke dalam karya).

Bahwa pada tahun 2001 saya masih mendapati cetakan pertama tahun 1977 dengan harga obral, artinya novel ini tidak laku dijual. Cukup ironis, tapi sisi lain saya bersyukur.

Bicara soal minimnya penjualan, saya tidak yakin apakah itu ada hubungannya dengan nama Steinbeck yang relatif kurang dikenal di Indonesia, khususnya oleh generasi setelah tahun 70-an. Dibandingkan dengan Ernest Hemingway, sepertinya Om John kalah populer. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga di dunia dan di negaranya. Tapi itu tidak berarti karya Ernie lebih laku. Barangkali nasib buku-buku sastra, sebagian besar, memang seperti itu.

Sedikit tentang Ernest Hemingway, saya mendapati resepsi para esais yang lebih ramai dan penuh pujian terhadapnya daripada terhadap John Steinbeck. Namun setelah membandingkan beberapa novel Ernie dan John, saya jadi heran: novel Ernie tidak membuat saya bahagia. Karyanya yang pertama saya baca, Pertempuran Penghabisan, hampir setahun baru saya tamatkan. The Old Man and The Sea pun lama sekali selesainya, padahal pendek. Begitu pun cerpen-cerpennya, nyaris tidak ada yang mengesankan. Kawan saya Ahmad pun mengaku merasakan hal semacam.

Saya tak mencatat kapan persisnya novel Dataran Tortilla saya baca pertama kali, tapi tahunnya masih sama dengan tahun pembelian. Begitu membacanya, saya sadar ini adalah kisah yang karakter-karakternya akan terus terngiang-ngiang dalam pikiran. Di kemudian hari, terkadang muncul alter ego saya sebagai sejenis orang yang suka ketawa sendirian. Makanya saya membacanya lagi dan lagi, mungkin hingga lima balikan, walaupun pembacaan berikutnya tak selalu seturut urutan halaman.

Dari Dataran Tortilla yang menyenangkan, saya beranjak ke karya-karya lainnya dari Om John, yaitu Canery Row yang menghibur (pada tahun 2002), Amarah (terjemahan Grapes of Wrath) yang dahsyat (2003), The Pearl yang simpel (2003), dan Of Mice and Man yang mengharukan (tamat dalam sehari, 16 Juni 2006).

Jika akhir-akhir ini Ahmad kerap memprovokasi kawan-kawan nongkrongnya untuk membaca Dataran Tortilla, saya pun telah melakukan ini sebelumnya, meski tak “sememaksa” dia. Saya ingat ada seorang kawan saya di Cabang HMI yang kerap berdiskusi dengan saya selepas membaca karya John Steinbeck dan karya sastra lain. Dan jika saya tidak kegeeran, sepertinya Ahmad pun merupakan salah satu hasil dari dakwah saya, meski hakikatnya dia tidak memerlukan itu.

Kembali ke buku Dataran Tortilla, secara fisik, saya tidak berhasil menjaganya dari kreativitas para kutu buku yang membuat jalur-jalur melingkar dengan pola-pola aneh mirip bekas pendaratan pesawat UFO di persawahan. Sampai sekarang, saya kira jasad-jasad renik mereka masih awet dan beranak-pinak di sana, sebab seiring waktu hasil karya mereka semakin unik dan menakjubkan. Sekaligus memprihatinkan.

Baiklah, kawan-kawan paisanos, pendek saja catatan saya yang pertama ini. Semoga catatan berikutnya bisa bahas isi. Mohon maaf karena saya tidak menulis dengan gaya mirip Steinbeck di Dataran Tortilla, seperti yang kawan-kawan pamerkan pada esai-esai lain di Blog Anggur Torelli. Saya merasa hidup saya terlalu serius akhir-akhir ini. Saya tahu, saya perlu mereguk lebih banyak lagi anggur-anggur bermutu seperti Dataran Tortilla ini. Salam damai.




"Ingin ikut berkontribusi sumbang tulisan? Baca halaman Undangan Berkontribusi"
Ikuti kami di twitter @anggurtorelli, dan halaman facebook Anggur Torelli

27 Mei 2012

Di Bawah Asuhan Iwan Fals



Time: Iwan Fals pahlawan Asia
Sejak tren gitar masuk desa menginvasi kampung saya, perubahan dialami bocah-bocah beranjak remaja. Mereka ogah aktivitas bertemu teman disebut “bermain”. Sebagai ganti istilah ”nongkrong” diajukan. Dan perkumpulan baru sah disebut nongkrong kalau sudah melibatkan gitar. Saat itu pertengahan era 1990-an. Saya larut dalam gelombang tersebut.

Bocah-bocah yang dulu mengidolakan Susan dan Ria Enes, mendadak goyah pendirian. Sosok boneka bersuara cempreng yang berduet dengan seorang perempuan dewasa tak lagi dianggap mewakili. Serentak pergulatan massal para remaja senewen mencari idola baru terjadi.

Entah tersebab kekuatan apa, seorang pria gondrong keriwil dan hobi bertelanjang dada di panggung, ramai-ramai dielu-elukan. Dari tongkrongan ke tongkrongan, merk, warna, bentuk dan kualitas gitar boleh tak sama, tapi lagunya tetap Iwan Fals belaka. Keputusan ini bersifat nyaris aklamasi meski tak lewat rapat atau pemungutan suara. Seorang dua tentu ada yang coba-coba mencari idola di jalur kasidah atau dangdut. Tapi jumlahnya tak seberapa

Tanpa katrolan gosip, juga sonder iklan, popularitas Iwan Fals secara ajaib berkibar seantero kampung. Kaset-kasetnya laku keras, asli maupun bajakan. Posternya menghias kamar demi kamar. Foto sang idola menyeludup ke dompet-dompet. Syair-syair lagunya dikutip dalam coretan-coretan di tembok umum. Gerakan ini tak didorong mesin politik manapun. Hingga kini juga tak ada bukti gejala ini bagian dari rekayasa Freemason, pemuja iblis, apalagi sokongan dana Amerika.

Para remaja tersebut mestilah berpikir Ujung Aspal Pondok Gede bercerita tentang desa mereka. Saban malam mereka nyanyikan, “…di jalanan kami sandarkan cita-cita”, sembari memandang satu dua kendaraan lewat. Sore, ketika bermain bola di lapangan-lapangan darurat, lagu Mereka Ada di Jalan mengiang-ngiang di kepala. Ada juga yang diam-diam mulai kepingin meminjam buku seorang gadis, buat menulis sajak indah.

Ada sebuah lagu Iwan Fals tentang liburan keluarga miskin. Tokohnya lelaki yang menunggu anak istri bersiap jelang berangkat. Iwan Fals menyebut mereka “kaum kusam”. Maka seperti filosof Jean Paul Sartre melakukan “bunuh diri kelas” dan melebur jiwa bersama kaum buruh, remaja di kampung saya berbodong-bondong menyebut diri sebagai bagian dari kaum kusam.

Boleh jadi mereka menganggap Iwan Fals tak banyak beda dengan para nabi, sekurang-kurangnya kiai. Pembawa kabar hal-hal yang belum pernah mereka dengar. Barangkali sebelum Al Gore koar-koar kesana kemari, mereka sudah lebih dulu khawatir dengan pohon-pohon yang ditumbangkan. Tanpa membaca koran, mereka tahu negara dikalahkan korupsi dan ketidakadilan. Ini tanggung jawab Iwan Fals sepenuhnya.

Sekitar tahun 1998, ibukota dihujani demonstrasi. Para remaja kampung saya sama sekali tak paham artinya. Betapapun urakannya mereka, perilaku berteriak-teriak membawa spanduk sambil menantang polisi dan tentara, memblokir jalan dengan membakar ban, bukanlah hal yang berani mereka bayangkan. Tapi protes-protes para demonstran kelihatannya nyambung dengan lagu-lagu sang idola. Maka mereka sepakat saja, meski tak ikut berpeluh.


***

Di awal periode saya kuliah, Iwan Fals menyiarkan album baru, Suara Hati. Kualitasnya anjlok dibanding yang sudah-sudah, baik diteropong dari segi musikal maupun syair. Tapi penggemar orang ini tak ada surut-surutnya.

Kampus saya waktu itu punya delapan fakultas, terbagi di dua tempat. Keduanya dipisah jarak sekitar 30 menit berjalan santai. Tapi jarak tak jadi halangan bagi saya mengoleksi teman di tiap fakultas dan titik sosial lainnya. Bergonta-ganti tempat nongkrong di tiap fakultas bukan hal aneh buat saya. Bahkan ikut kelas perkuliahannya.

Karya Iwan Fals kala itu tak ubahnya tiket terusan bagi saya. Memudahkan untuk masuk di berbagai komunitas. Mereka yang tak cukup perbendaharaan lagu Bang Iwan di ingatannya bakal keki habis-habisan. Tak jarang seorang atau dua sampai menyelongkar koleksi toko-toko kaset buat memerbaiki referensi.

Namun hanya karena dua orang temanlah, Asep Sofyan dan Abdullah Alawi, pandangan saya terhadap Iwan Fals meluas. Mereka adalah pecandu sastra kelas berat dan penulis hebat. Paham seluk-beluk susastra negeri ini. Lewat koleksi buku mereka yang diam-diam saya teroka, tak jarang lewat menguping pembicaraan, saya mencicil pelajaran sastra.

Asep mengajari saya apa itu puisi. Apa bedanya dengan coretan para remaja yang mengungkapkan gundah hati pada halaman terakhir buku, di sela jam pelajaran. Bagaimana melihat kalimat Sapardi, “Mei, bulan kita itu, belum ditinggalkan penghujan,” sebagai kalimat langsing tapi padat berisi.

Dari Alawi, penulis Persekongkolan Steinbeck dan Paisano Tortilla, saya dibekali pengetahuan soal kalimat-kalimat realis yang bercahaya. Kesederhanaan yang dipenuhi berkah buat para pembaca. John Steinbeck, Ahmad Tohari dan Mahbub Djunaidi, selalu menulis dengan cara yang ringan, tapi mampu membuat imajinasi pembaca keluyuran ke mana-mana.

Sejak itu, bagi saya Iwan Fals bukan sekadar lelaki gondrong yang sinis, tukang protes segala hal yang lewat di depan mata dan ingatannya. Ia salah satu penulis puisi-puisi paling indah. Pernah saya sesunggukan sehabis mendengar lagu Aku di Sini.

Iwan Fals juga ikut meloloskan bahasa Indonesia dari perangkap birokrasi yang bertele-tele. Model bahasanya tak ditemukan di program rutin TVRI, Dunia Dalam Berita, juga dalam seminar-seminar yang judulnya panjang dan sukar dicerna.

Kata-kata yang disampaikan Iwan Fals adalah metafora yang mewakili pengalaman hidup banyak orang. Siapa tak paham maksud dari “tikus kantor” dan “Guru Oemar Bakrie”? Seperti Chairil Anwar, syair-syairnya menjadi milik bersama. Karya-karyanya menjadi cermin kondisi bangsa. Inilah setinggi-tingginya puisi!

Ketika industri musik tanah air mulai mengalami gegar otak, banyak penikmat musik terbawa gelombang tren. Tapi Bang Iwan tak henti-hentinya menginspirasi banyak orang. Saya dan teman-teman yang tumbuh bersama lagu-lagu Iwan Fals, mana tahan mendengar lagu-lagu model begituan.

Sampai kini, berkat pergaulan, selera musik saya kian beragam. Apalagi sekarang banyak juga musikus-musikus kita yang punya kualitas bagus, meski kurang disukai pemilik televisi. Sedikit-sedikit ada juga karya musikus luar negeri yang mampir ke telinga. Namun saban mendengar lagu-lagu Iwan Fals, saya merasa pulang.

Sebetulnya saya selalu berharap lagu-lagu Iwan Fals yang penuh kritik dan satir baiknya masuk museum saja. Sesekali diputar lagi sekadar buat mengingat masa lalu. Tapi saban diputar, lagu-lagunya seperti baru diciptakan hari ini. Diciptakan untuk hari ini.





"Ingin ikut berkontribusi sumbang tulisan? Baca halaman Undangan Berkontribusi"
Ikuti kami di twitter @anggurtorelli, dan halaman facebook Anggur Torelli

25 Mei 2012

Gelora Kata dan Realita Dalam Musik



Grup musik Efek Rumah Kaca
Berapa banyak musik yang menginspirasi? Berapa banyak lirik yang mencerminkan jati diri? Berapa banyak lagu yang bisa mengena di hati sampai berhari-hari bahkan bertahun-tahun lamanya? Saya rasa, untuk tipikal musik seperti itu, dewasa ini sudah tak ada. Saya agak muak dan mual dengan kondisi industri musik seperti ini di Indonesia. Entah kapan kelatahan musik segera berhenti. Saya rasa, musik-musik berlabel mayor sudah tak lagi mengerti apa hakikat musik. Tak ada lagi idealisme yang tertanam dan itu semua demi mengejar satu kata, uang atau terkenal.

24 Mei 2012

Saya dan Kegilaan Mbah Arswendo Atmowiloto




Arswendo Atmowiloto
Saya agak kesal dan bebal setiap membuka situs yang berisi pencerahan diri atas karya-karya terbaik di bumi ini. Situs itu bertajuk Anggur Torelli dan seakan memabukkan, saya pun memaksa diri untuk mengisahkan pencerahan yang saya dapat atas sebuah buku. Para penulis di sana boleh berbangga hati dan bersukacita karena karya John Steinbeck, saya pun akan mematahkan humor Steinbeck itu dengan humor lokal, Arswendo Atmowiloto.

Ada yang mau mengusir saya dari situs ini? Silakan. Saya tak gentar. Saya pun seratus persen yakin, kendati salah seorang dari pencetus Anggur Torelli membaca salah satu karya Arswendo, serta-merta humor satirnya akan menyusup pula. Seperti halnya mereka yang telah membuat saya iri setengah mati karena tak satu pun karya John Steinbeck yang saya miliki. Suatu saat nanti, saya pasti akan mendapatkan Dataran Tortilla, entah bagaimana caranya. Mungkin dengan memfoto kopi juga? Tak apalah disebut menurunkan harga diri, daripada merogoh kantong celana terlalu dalam di akhir bulan yang serba paceklik ini. Hehe.

***

23 Mei 2012

Persekongkolan Steinbeck dan Paisano Tortilla


Tortilla Flat
Saya mendapati Abi S. Nugroho tidur pulas di tempat tinggalnya, M@kar, akronim dari Mambaul Afkar, sebuah forum diskusi di Ciputat. Pertanyaan yang langsung muncul adalah, sebab kekuatan apa makhluk itu tidur sesore ini? Sungguh ini pertanyaan tak berguna ketika sudut mata terantuk buku di sampingnya. Tapi, apa anehnya? Abi tertidur di samping buku bukanlah berita. Ia memang kutu buku! Predator buku!

Karena itulah Abi adalah data keluyuran. Ia bisa cerita politik, ekonomi, sejarah, budaya, hingga sastra. Dia biasanya melengkapi keterangan dengan halaman buku, penerbit, riwayat pengarang, buku-bukunya yang lain, dan bagaimana tanggapan pengarang lain. Ia kadang membubuhkan cetakannya.

Bacaanya luas. Sekali waktu dia cerita tentang koperasi, perikanan, pertanian, perkebunan, transportasi, dan asuransi. Tak luput pula pemikiran Islam, dan tasawuf, kadang-kadang musik. Jika ia menjelaskan, semengantuk apa pun, kalimat-kalimatnya nyaris kopi hitam sonder gula ditaburi garam.

Buku-bukunya seabrek. Saya berani bertaruh, buku-buku mahasiswa satu jurusan digabung jadi satu, belum sebanding dengan jumlah bukunya. Satu hal yang perlu diperhatikan, jangan sesekali bermain-main buku dengannya. Misalnya Saudara meminjam buku, kemudian dia berbaik hati, dan Saudara tak mengembalikannya. Jangan salah, ke sudut paling jahanam pun dikejar!

Juga jangan sekali-kali merusak bukunya. Saya pernah kena batunya. Tiap ketemu, pasti ditanyakan, di hadapan siapa pun. Dan saya hanya menunduk. Karena kasus itu, sempat berpikir untuk tak pernah ketemu lagi. Tapi segera saya ralat. Lebih baik dimaki-maki, asal tak ketinggalan data yang diobralnya.

Sekali waktu dia pernah mampir ke tempat tinggal saya, instalasi. Kemudian saya biarkan asyik melihat-lihat buku milik teman sekamar. Tak lama, saya dengar ia merintih.“Astaghfirullah…,”

Saya langsung melirik ke arahnya. Mungkin dia digigit ular kobra atau kalajengking alas roban yang tiba-tiba hadir di kamar saya.

“Kenapa, Bung?”
“Enggak tahu dah, hari ini yang ketiga kali, gua melihat halaman buku dilipat!” tegasnya. Air mukanya seperti makhuk yang baru saja dilucuti tulang belakangnya.

***

Buku yang hampir tertindih tubuh Abi itu adalah Dataran Tortilla. Saya yakin, jika dia sadar, akan menyesal seumur hidup, kemudian meratap tujuh kali dalam tujuh bahasa berlainan. Apalagi buku itu bukan miliknya.

Dataran Tortilla itu milik Ahmad Makki, sokoguru warkop Tampomas, sebuah tongkrongan angker di Ciputat. Beberapa waktu lalu dia pernah menceritakannya dalam sederetan kalimat singkat. Sepertinya tak berniat untuk meminjamkannya pada siapa pun di dunia ini. Dia hanya bercerita! Tapi mimik mukanya seolah bilang, ada buku itu, bagus untuk dibaca, kemudian carilah dengan keringat sendiri.

Makki memang culas dalam urusan buku!

Tapi kenapa Abi bisa meminjamnya? Pasti ada pertukaran rahasia. Apa yang dibutuhkan Makki ada di rak buku Abi. Tak syak lagi.

Peduli syetan! Apa pun yang berkaitan dengan buku itu, saya enyah. Yang jelas, sekarang di genggaman. Orang yang meminjam tak sadar, yang dipinjam absen, dan tak ada pihak-pihak lain yang bisa dinyatakan sebagai saksi. Syetan mana yang berani mengaral jika saya mulai baca buku itu?

Saya timang-timang sebentar sampul buku itu. Kemudian membaca halaman pertama. Tiba-tiba saya ingat, untuk apa membaca buku lagi?

Seminggu lalu, saya menghabiskan seribu halaman Pisau Terbang Li yang memaksa melek 24 jam. Saya membaca versi PDF-nya di dua komputer dan satu laptop. Soal semua benda itu adalah pinjaman, tak ada relevansinya dengan kenikmatan membaca. Soal mimik muka yang dipinjami, Saudara tak usah risau juga, biar saya menanggung.

Setelah membaca karya Khu Lung itu, saya berjanji, dalam beberapa waktu ke depan, tidak akan pernah membaca buku lagi. Saya ingin mengawetkan cerita, dan akan mengampanyekan kepada sahabat-sahabat sepenongkrongan. Saya ingin mengulang sukses Kejahatan dan Hukuman Dostoyevski yang dibaca lima orang setelah saya ceritakan.

Tapi saya buka juga karya Steinbeck itu.

***

Buku Dataran Tortilla itu mengisahkan kaum paisano. Mereka di antaranya Danny, Pilon, Big Joe Portugis, Jesus Maria Corcoran, Pablo, dan Bajak laut dan anjing-anjingnya.

Setelah membaca buku itu, saya ingin menyampaikan beberapa hal. Pertama, saya tidak sepakat mereka dikatakan pengangguran. Mereka begitu adanya. Hidup berkeliaran, tidur di got kering, di semak belukar, atau tepi hutan. Tapi tak pernah mengeluh. Keseharian mereka adalah mabuk, tidur, mencuri, menipu, dan selingkuh dengan istri orang. Ketika suaminya mengejar, sembunyi di tebing-tebing.

Keluar-masuk penjara adalah biasa. Tapi mereka tak mengeluh, karena itu bagian dari ritme mereka. Mereka taat hukum. Misalnya Danny, saat dipenjara, memaki pejabat-pejabat ditembok dengan tinta darah bangsat, tapi tak sekalipun menghujat hakim.

Kedua, dalam persinggungan mereka, anggur adalah fondasi. Ketika Pilon bersama Joe Portugis terbangun di tepi laut, yang disesalkan pertama kali adalah anggur.  “Mmm… seandainya ada setetes anggur..,”

Ketiga, dari Pilon kita meneladani sifatnya yang cermat dalam memahami situasi. Menyimak dan menyimpan data sebanyak-sebanyaknya. Tak satu pun yang absen dari pengamatannya. Ia senang menolong bahkan pada hewan sekalipun. Ia membuka pagar pembatas rumah Danny supaya ayam-ayam Nyonya Morales bisa bertelor nyaman di halaman rumah Danny.

Ia juga orang yang suka mengambil pelajaran dan kesimpulan, ketika salah satu rumah Danny terbakar, ia mengatakan, lain kali, jangan pernah menyisakan sedikit anggur sebelum tidur.

Keempat, dari Jesus Maria, ia gemar menolong siapa pun, relijius, tapi tak bisa tahan jika melihat rok perempuan tersingkap.

Kelima, dari Bajak Laut; tekun, istiqomah, qonaah, gemar menabung dan penyayang binatang. Tapi jangan memelihara kutil di jempol kaki.

Keenam, Joe Portugis. Tolong mengertilah perasaan seorang perempuan yang telah menyediakan keteduhan dan segelas anggur.

Ketujuh, kepada Danny, dia penangkap lalat yang berbakat. Jika itu hilang, berarti semangat hidupnya sedang dilucuti. Itu adalah tanda goyahnya paisano karena ia sokoguru cerita. Danny, saya sepakat apa yang dinyatakan Pilon. Jangan pernah memberi hadiah yang mensyaratkan hadiah lain.

Kedelapan, kepada Torelli, jagalah belibismu baik-baik. Dan tingkatkan kualitas anggurmu! Kamu adalah penunjang denyutnya paisano. Karena kamu pulalah lahir Blog Anggur Torelli.

Kesembilan, kepada John Steinbeck, terima kasih. Kamu sudah bersekongkol dengan keenam paisano, hingga saya ngakak terlonjak-lonjak di pojokan. Saya yakin, kamu sebenarnya tidak menulis apa-apa, tapi mengajak saya jalan-jalan di Dataran Tortilla.

Kesepuluh, kepada Djokolelono, salam hormat. Terima kasih sudah mengantar jalan-jalan yang mengasyikan. Mulai sekarang, saya yakin, bahwa pengantar adalah profesi terhormat. Suatu saat, saya senang jika Saudara berkenan ngobrolin paisano sambil “bertorelli”. Tentu saja bersama belibis.

Kesebelas, hampir lupa, kepada Pablo, saya yakin harus membaca ulang buku itu. Keduabelas, saya sudah sembrono mengurutkan bagian-bagian cerita buku itu. Padahal, di warkop saja, buku itu berkembang berbulan-bulan jadi perbincangan. Dan jika saya sendirian, kemudian ingat akan perilaku paisano, berderailah tawa.

Ketigabelas, lihatlah! Penongkrong di warkop kelimpungan setelah mendengar cerita buku itu. Ibarat kesurupan, mereka menyisir ke toko-toko buku. Ketika usaha mereka gagal, terpaksa menurunkan harga diri dengan memfoto copy. Ahmad Makki segera menarik buku itu dari pinjaman Abi.  

Keempatbelas, saya tidak bisa berkata apa-apa lagi.



"Ingin ikut berkontribusi? Kirim tulisan anda ke surel: anggurtorelli[at]gmail[dot]com"

19 Mei 2012

Hidup Saya Sejak Membaca “Dataran Tortilla”


Dataran Tortilla cetakan lama

Bertahun-tahun lalu, ketika masih mahasiswa, saya sempat tinggal di kos yang lumayan luas, namun terlihat mau ambruk. Temboknya dekil dan retak di sana-sini. Kusen-kusennya rusak diserbu rayap. Di kamar depan, papan langit-langitnya ambrol entah sejak kapan. Dugaan saya, para nyamuk pun sedikit tersinggung, lantaran mereka bebas keluar masuk tanpa kami beri tantangan berarti.

Tapi jangan buru-buru jatuh kasihan. Banyak hal menyenangkan yang saya alami di tempat itu. Salah satunya adalah akses tak terbatas pada koleksi salah satu teman sekos saya, Asep Sofyan. Ia seorang pengumpul buku pilih tanding. Buku-bukunya memadati kamar karena empat lemarinya tak mampu lagi menampung. Itu baru sebagian. Di kampungnya ia membuka penyewaan buku. Seingat saya yang tak pernah saya jumpai dari koleksinya hanya perihal resep masakan.

Saban hari saya bangun ketika kos telah lengang. Ini merupakan kelaziman yang sudah diterima oleh kelima penghuni kos tanpa banyak perdebatan. Saya dengar Immanuel Kant mampu mengulang rutinitasnya dengan tepat waktu. Para tetangga bisa menduga pukul berapa ketika Kant lewat. Saya kira kami hampir semodel. Saban bangun tidur, saya bisa menduga, bahwa tak lama lagi masjid di sebelah bakal meneriakkan azan zuhur. Ini tentu bakat yang tak bisa dipunya sembarang orang.

Hari itu, seperti kebanyakan hari lainnya, saya bangun dan bersikeras untuk tak buru-buru mandi. “Lebih asyik menggeledah koleksi Asep,” pikir saya. Sebuah buku tua saya loloskan dari barisannya di lemari. Tampangnya yang lecek dan beberapa lembar yang bolong dikerjai rayap-rayap vandalis, bikin saya agak mencurigai Asep. Mungkin karena banyak teori dan imajinasi yang dimamah, membuat pikirannya agak terganggu. Masak ia lebih memilih buku gembel begitu disimpan baik-baik, ketimbang koleksi lain yang lebih baru.

Dataran Tortilla judul buku lusuh tersebut. Nama John Steinbeck, pengarangnya, tentu tak terlalu dikenali orang macam saya yang sekadar berteman dengan pengoleksi buku. Saya membacanya sambil tiduran. Ceritanya menyentuh tapi tak melankolis. Humor-humornya mengejutkan. Beberapa kali saya berguling untuk menghilangkan penat, tahu-tahu novel itu telah sampai di halaman terakhir. “Edan!” desis saya. Kagum saya tak habis berjam-jam setelahnya. Djokolelono yang menerjemah novel ini pun layak dikalungi medali.

Berhari-hari saya berpikir, kok ada yang mampu menulis seperti Steinbeck? Berhari-hari juga saya kerap ketawa tiba-tiba. Saya tak terlalu khawatir orang berpikir macam-macam. Kawan-kawan sudah mafhum kok kalau saya bisa mendadak sinting. Saya ingin sekali menjelaskan Dataran Tortilla pada setiap teman yang belum membaca. Tapi meminjam buku Asep untuk diedarkan, tentu kelewat berisiko. Sedang menceritakan kembali pun mustahil, karena kemampuan bahasa yang terbatas? Kalau bisa, mending saya bikin karya yang sama bagusnya.

Seumur hidup saya belum pernah ketemu orang yang membenci humor. Saya sendiri pemuja humor habis-habisan. Mengingat tak banyak hal penting yang saya tahu, maka humor jadi satu-satunya modal saya buat berteman. Namun bagaimana kalau ada humor dahsyat yang sulit kita ceritakan pada orang lain? Saya kira tak banyak penderitaan lain yang menandingi kesepian model begini.

Dataran Tortilla cetakan baru
Maka tahun demi tahun saya disiksa persoalan yang sama. Sampai suatu hari saya temukan solusi praktis. Dataran Tortilla ternyata dicetak ulang. “Eureka!” teriak saya dalam hati, sambil menggondolnya sebiji dari toko buku. Tentu (sumpah demi Allah) setelah membayar kontan. Mengoleksi buku ini tentu sebuah kewajiban. Namun mengedarkan pada orang lain buat membacanya juga tak kalah penting. Saya tentu tak rela bertahun-tahun disiksa humor yang demikian sableng sendirian.

Tapi kehendak kadang memang ibarat jauh panggang dari api. Manusia boleh berencana, Tuhan jua yang menentukan (asem, siapa yang iseng memasukkan kalimat ini?). Tanggapan teman-teman tak seperti yang saya kira. Setelah berbulan-bulan, satu-satunya yang bersedia melahap novel ini cuma pacar saya seorang. Karena jarak, kami sulit bertemu sering-sering. Sebetulnya dengan kemajuan teknologi kami bisa berbagi kelucuan novel ini. Tapi tak sopan membicarakan humor seagung ini lewat sms, telepon, atau dinding facebook. “Ini tidak adil,” rutuk saya suatu kali dalam hati.

Harapan kembali menyala ketika saya bertemu Abi, kawan saya yang setengah koleksi bukunya pernah membuat sebuah mobil pick-up tertatih-tatih membawa. Ia bersedia saya pinjami Dataran Tortilla. Namun perkiraan saya meleset. Beberapa minggu berselang, ia mengaku baru membaca sebagian kecil. Sampai novel itu kembali ke tangan saya, ia tak menunjukkan gelagat kesintingan seperti yang saya alami. Harapan saya pun kembali meleleh.

Namun Tuhan memang selalu ingat pada hamba yang sabar. Ia kerap bekerja lewat cara yang rahasia. Hal yang terlewat dari pengetahuan saya adalah sebuah peristiwa ketika Abi masih meminjam Dataran Tortilla. Kisah ini pun baru saya ketahui jauh-jauh hari.

Di suatu malam, sepulang dari suatu tempat Abi membaca Dataran Tortilla. Namun niatnya dikalahkan oleh lelah. Ia tertidur di tengah membaca. Saat itulah muncul Abdullah Alawi, pemuda yang memuja sastra kelewat tinggi. Beberapa kali ia memang sempat mendengar Dataran Tortilla lewat provokasi saya. Malam itu akhirnya mau tak mau ia membacanya, lantaran tak tahu lagi harus apa. Sontak Alawi langsung paham apa yang saya rasakan bertahun-tahun.

Beberapa waktu berselang, saya dan Alawi bertemu. Awalnya ia tak mau cerita. Namun lantaran seorang teman “menyerempetnya” terus-terusan, akhirnya ia membuat pengakuan tulus kepada saya perihal Dataran Tortilla. Alawi selalu berbicara soal “mengawetkan kenangan” saban melihat, membaca, atau mendengar karya hebat. Setelah membaca Dataran Tortilla ia mengaku tak berani membaca buku untuk jangka waktu tertentu. Ia ingin novel tersebut melekat sempurna dalam ingatannya sebelum diinterupsi hal-hal baru.

Sesungguhnya lewat kerja Tuhan yang rahasia juga, jika setelah Alawi membaca obrolan soal Dataran Tortilla cepat menyebar ke teman-teman lain. Satu kali saya dengar seorang teman berkeliling ke beberapa toko buku untuk mencarinya. Lain waktu, saya tahu bahwa sudah ada yang sempat memfoto kopi koleksi saya tersebut. Sungguh ini bukan jasa Alawi.

Berkat kejadian-kejadian di atas saya tak lagi canggung menyebut nama-nama seperti Danny, Pilon, Pablo, dan lainnya, saat berkumpul dengan teman-teman. Bukan salah saya jika sekarang teman-teman kerap tertawa tanpa dipahami orang lain apa sebabnya. Pokoknya, segala gangguan sosial yang diakibatkan oleh kami, seperti berisik di malam hari, membuat orang lain terbengong-bengong mendengar tawa kami, itu tanggung jawab John Steinbeck semata. Kami hanya korban.

Sejak itu hidup saya lebih tenang. Saya tak lagi merasakan putus asa untuk menjelaskan hal yang terus menghantui pikiran saya bertahun-tahun. Siang dan malam. Andai saya mati di kemudian hari, saya bisa menghadapinya baik-baik.

Puluhan tahun kemudian, kisah ini mungkin dianggap semacam cerita rakyat yang tak jelas asal-usul dan kebenarannya. Para peragu mungkin juga menganggap ini sekadar strategi promosi murahan sebuah penerbit buku. Karenanya saya bergegas menulisnya, agar semua bisa melihat langsung bukti otentik kisah ini (Entah siapa yang memasukkan paragraf yang jelas-jelas dicuri dan dimodifikasi dari pembuka Dataran Tortilla ini?). 

Perkiraan saya, tak lama lagi seorang atau dua yang merasa disinggung dalam cerita ini bakal membuat tulisan. Tujuannya mungkin untuk mengklarifikasi atau  membantah fakta yang saya sebut. Pokoknya versi tandingan. Tapi percayalah, cuma cerita saya yang patut dipercaya.


"Ingin ikut berkontribusi? Kirim tulisan anda ke surel: anggurtorelli[at]gmail[dot]com"

Membuka Daun Telinga lewat “Tortilla Flat”

Oleh:  Alhafiz Kurniawan *
Tortilla Flat


Kalau saudara punya niat membaca Tortilla Flat, novel karya John Steinbeck, saya sarankan untuk siapkan diri lahir dan batin. Tegasnya, sebelum membuka helai demi helai karya ini, saya punya usul agar saudara menyingkirkan jauh-jauh barang-barang mudah pecah apalagi pemberian kekasih, anak kecil, atau gelas yang berisi air.

Saya tidak mau turut menanggung kalau kucing peliharaan akan tersepak dua meter dari jangkauan lantaran saudara tertawa geli minta ampun. Milik saudara atau tetangga, kucing peliharaan harus tetap terpelihara. Mungkin peliharaan saudara akan bingung apa pasal majikannya atau tetangga majikan begitu riang sampai lalai pada binatang manja. Pindahkan jemuran kering atau setengah kering ke tempat teduh bilamana saudara memanggangnya dalam dekapan matahari. Kalau malam hari, sebaiknya saudara tutup yang mesti ditutup. Ini berlaku pada apa saja. Jendela mesti rapat. Satu ini penting, salah-salah buatan, tetangga sebelah yang tengah sakit gigi tidak segan-segan melempar gelas ke dalam kamar saudara. 

Dua kali sudah saya membaca Tortilla Flat, novel John Steinbeck. Ia berkisah tentang sekawan yang tergabung dalam pelbagai pengalaman keseharian. Mereka memahami kehidupan secara ringan, tanpa beban membandul di kepala. Butuh kelapangan dada yang meng-ablak untuk membaca karya ini. Negative capability, kata orang-orang sastra. Daya menanggalkan nilai sejenak yang melekat dalam diri agar harga diri saudara yang paling berharga itu tidak menjadi taruhan murah kala membaca.

Tanpa kearifan tinggi, saudara akan geram melihat tingkah konyol tapi bersahaja kawanan berandal Monterey. Meski menahan geram, pihak pembaca novel ini tentu kadang akan terpancing untuk tergelak. Bayangkan saja, bagaimana bisa kawanan ini menyanyikan lagu gembira untuk kematian Danny, kawan dekat mereka melebihi kedekatan ombak dengan gelisahnya. Lagu sedih sempat tercetus, tetapi mengingat Danny lebih menyukai lagu gembira kala hidupnya, kawanan menggemaskan ini menyanyikan lagu gembira dengan semangat untuk merayakan masa berkabung.

Dalam kesehariannya, mereka hampir selalu menawarkan logika di luar nilai yang dipeluk kebanyakan orang baik erat atau setengah longgar. Akal, tipu daya, kegelisahan, saran kawan-kawan, perkelahian tanpa alasan serius, nasionalisme yang tumbuh seiring tegukan anggur, pencurian potongan daging babi atau roti, bujukan halus tanpa ampun, pujian menipu, makian telak, mengisi catatan harian kawanan ini.

Dari Tortilla Flat, saya mengingat kembali karya-karya lain yang memiliki jiwa kurang lebih mirip. Alhikam karya Ibnu Athaillah misalnya. Saya mengaji kitab ini lewat dua kiai maha hebat di Jakarta. Satu terkenal dan sudah meninggal, dan satu tidak mau dikenal selagi masih hidup. Keduanya sama dahsyat. Alhikam kerap membuat logika saya menungging tersungkur telak. Bagaimana mungkin ‘sebut Tuhan lebih besar’ yang kerap dipahami bahwa zikir manusia menyebut nama Tuhannya sebagai perkara luar biasa, dibalik menjadi zikir-Nya menyebut nama hamba-Nya justru perkara luar biasa? Lepas hamba-Nya menunduk dengan ketentuan syariat atau tidak.

Pemahaman seperti ini bukan saja perkara sulit bagi saya. Ini juga dapat menyentak amarah kebanyakan orang. Berhubung kebanyakan orang lagi demam zikir. Bahkan, mereka melembagakannya dalam mejelis-majelis yang belakangan tumbuh banyak laiknya dealer-dealer motor Jepang. Pasal banyaknya dealer, bukan urusan saya. Tetapi kalau Alhikam dengan caranya demikian membuat mereka marah, saya harus menarik siapa untuk bertanggung jawab?

Cara memahami seperti ini saya pikir cukup ajaib mengingat jarang terpikir oleh kebanyakan orang. Bagaimana mungkin Tuhan mau menyebut nama hamba-Nya? Tetapi kalau Dia mau, apa hak saya untuk keberatan. Saya pikir-pikir, biar sajalah, itu maunya Dia kok. Namun logika semacam ini sudah saya terima dengan kedua tangan jauh-jauh tahun sebelum membaca Tortilla Flat.

Grup musik Led Zeppelin
Adapun yang baru adalah daun pintu telinga saya yang sontak dobrak terhadap musik klasik rock Barat era 1960-1970-an. Entah malaikat ganas apa yang mengirimkan guntur menyambar, benak saya langsung tertarik ke masa sekolah MTs silam. Saat sekolah di tingkat itu, saya bergaul bebas dengan kawan-kawan yang 15-20 tahun di atas saya. Selera mereka selain Iwan Fals, adalah klasik rock Barat. Dari mereka saya menelan dengan sedikit mengunyah The Beatles, Rolling Stone, Led Zeppelin, Deep Purple, Queen, Janis Joplin, Eric Clapton, Elton John, Aerosmith, Genesis dan sederetan musisi Barat lainnya.

Semua musik itu bisa saya dengar dengan cara mudah. Tekan kenop radio, geser gelombang untuk meraba 97.FM, stasiun radio yang murah hati memutar lagu-lagu klasik rock. Sejak 1998, saya tekun duduk di depan radio kadang sambil membawa sepiring nasi untuk makan malam. Dari semua musik yang masuk ke lubang kuping, saya mengidolakan The Beatles dan Rolling Stones. Dengan mengencangkan ban pinggang, saya menabung. Bukan atas anjuran guru atau orang tua, pula bukan untuk masa depan. Recehan yang masuk dari segala sumber, saya belanjakan untuk mengoleksi album kedua band itu.

Saat itu belum lagi ada yang namanya digital, jadi album masih dalam bentuk kaset pita. Hampir semua album kedua band raksasa itu, saya miliki. Namun begitu, selera musik saya lebih hampir kepada Rolling Stones. Band satu ini memiliki keunikan sendiri. Saya merasa masa kejayaan bermusiknya saat grup dengan vokalis bibir jebleh, Mick Jagger, masih didukung oleh Brian Jones. Ia musisi serba bisa, sanggup bermain gitar, sitar, gamelan, saksofon, harmonika dan sejumlah kepiawaian alat musik yang aneh-aneh.

Herannya, kuping ini belum bisa menerima permainan musik Led Zeppelin. Bagi saya Led Zeppelin, tak lebih dari aktor subversif yang mengacaukan irama musik belaka saat itu. Namun, usai membaca Tortilla Flat tahun lalu, telinga saya meng-gesrak-gesrak lagi dokumen musik Led Zeppelin. Sebelum mendengar ulang, logika dan perasaan saya sudah merengkuhnya. Ternyata, novel itu mengubah arah kompas penerimaan saya atas suguhan permainan Robert Plant, dan kawan-kawan. Bagaimana bisa seorang Jimmy Page membunyikan gitarnya dengan gesekan biola? Ia dengan gitar ampuhnya, kerap membuat kejutan-kejutan di luar terkaan.

Tetapi nasib sial menimpa saya laksana anak kucing tercebur di tubir telaga. Stasiun 97.FM yang tekun mengudarakan musik klasik rock, sudah mendarat. Entah mendarat di mana atau melampaui udara sehingga tidak lagi kedengaran dengusnya, saya tidak paham. Seingat saya, radio ini masih ingar-bingar saat saya duduk di bangku SMK tahun 2003. Berhubung kesibukan bertambah, saya tidak lagi mengikuti jejaknya sejak itu.

Meskipun kini saya tidak lagi dapat menikmati Led Zeppelin dari stasiun tersebut, itu tidak menjadi soal berat. Yang mau saya katakan, berandal Tortilla; Danny dan kawanannya, diam-diam menyelundupkan Led Zeppelin ke telinga saya. Saya yakin mereka menyelundupkannya tanpa izin, arahan, apalagi instruksi dari John Steinbeck, sang pengarang.

Ciputat, Sabtu, 6.21, 19 Mei 2012

Pelahap apa saja


"Ingin ikut berkontribusi? Kirim tulisan anda ke surel: anggurtorelli[at]gmail[dot]com"
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...