18 Okt 2012

Notamerta buat Gerak-Gerik





Tion dan Gerak-Gerik. Foto: Annida.
"Gua pengen meneladani para pedagang Cina. Harga murah, untung sedikit, pemasukan lancar." kata lelaki tinggi besar itu. Saya mengangguk setuju. "Harga murah juga berarti gua beramal buat mahasiswa," imbuhnya.

Lelaki itu Ikhwan Nasution. Panggilannya Tion. Seorang kawan asal Batak pernah berkata, ini kali pertama ia ketemu orang sedaerah yang berani memapas nama marganya dengan sengaja.

Tapi bukan lantaran itu Tion terkenal di kalangan pemburu buku sekitar UIN Jakarta. Ia juragan toko buku -ia menyebutnya bengkel buku- Gerak-Gerik, yang mayoritas dagangannya adalah buku tua.

Ketika Tion mengucapkan kalimat di atas, saya merasakan optimisme dan keteguhan. Ia menyelundup kesana-kemari demi mengendus jejak buku-buku tua. Kerja keras ini sempat membuat foto dan profilnya nampang di rubrik Sosok harian Kompas.

Dan sekitar lima tahun setelah kalimat itu, Tion menutup Gerak-Gerik karena sepi pembeli.

***

Bukan koleksinya yang pertama kali membuat saya tertarik dengan toko buku Gerak-Gerik. Sebab ketika tengah melewati mulut gang kecil itu, sekira paruh awal dekade 2000-an, saya belum tahu di sana dibuka toko buku baru.

Adalah sosok sastrawan Danarto yang mengundang mata saya. Legendaris yang wajahnya hanya pernah saya lihat di media massa dan halaman akhir beberapa buku ini, tengah membaca sambil menghadapi puluhan buku tertumpuk rapi.

Saya menghampiri, menyalami sambil sedikit berbasa-basi, lalu menyelidik barang jualan toko buku tersebut. Kala itu koleksinya masih buku-buku baru.

Beberapa kali berkunjung, saya berkesempatan mengobrol dengan Tion. Ia mengaku koleksinya tak baru-baru amat. Hanya buku-buku baru dengan angka penjualan lumayan yang dipajangnya. Itu pun tema-tema tertentu, seperti filsafat, sastra, budaya, sejarah dan sejenisnya. Buku-buku lainnya ia baru datangkan setelah beberapa bulan diterbitkan.

“Buku-buku bagus dan serius biasanya enggak laku. Beberapa bulan terbit lalu menumpuk di gudang,” katanya. Ia lalu membujuk para penerbit agar menekan harga, dengan jaminan angka penjualan sekian. Pertaruhan kredibilitas sebagai pedagang, ia menyebutnya. “Gua yakin di UIN (Jakarta) pasar buku-buku beginian masih lumayan”.

Beberapa bulan kemudian Gerak-Gerik pindah tak jauh dari tempat semula. Lebih strategis dan lebih luas. Buku-buku tua mulai dipajang, dan kian lama kian fokus ke segmen ini. Tion pun makin edan pasang harga. Kumpulan cerpen legendaris Idrus, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma saya gondol pulang dengan harga lima ribu perak. Novel klasik Dr. Zhivago yang diterjemahkan Trisno Sumardjo, di sebuah bazar buku lama dibandrol 300 ribu. Wajar mengingat reputasinya, kata saya. Tapi di Gerak-Gerik buku itu bisa dibawa pulang dengan harga 50 ribu. Yang berbahasa Inggris harganya lebih jeblok lagi.

Makin lama buku-buku tua kian menjejali Gerak-Gerik. Bobot kualitasnya kian canggih, temanya tambah beragam. Ini cocok betul dengan selera intelektual saya yang urakan dan kurang bertanggung jawab. Tiap punya duit barang 50-100 ribu, saya bergegas mampir dan menghabiskannya selekas pecandu judi kurang siasat. Toko ini sebenarnya menyediakan kantong plastik, tapi saban membeli lebih dari tiga buku, saya cuma minta diikatkan lalu menentengnya dengan gaya berlebih-lebihan, di sepanjang jalan yang dilalui ribuan mahasiswa.

Ide Tion berkutat di buku-buku tua mendapat sambutan hangat, terutama ketika stok baru buku-buku tua tiba. Tempat ini jadi semacam ruang rekreasi para pecandu buku. Dengan kian ramainya Gerak-Gerik, Tion tak hanya berperan sebagai juragan. Ia juga kerap membantu melayani, tapi lebih sering jadi katalog buku. Memberi keterangan ringkas, menunjukkan buku-buku yang berhubungan, atau merekomendasi.

Tion juga bisa menjadi pedagang yang nyentrik. Jika ada yang bertanya buku-buku teks kuliah, dengan ketus ia menjawab, “maaf, enggak jual yang begituan.”

Mereka yang bokek bisa datang dengan nyaman, menunjuk beberapa buku yang diinginkan agar disimpan dan tak dibeli orang lain. Seminggu atau dua mereka datang lagi menyetor duit dan ambil buku.

Saya juga menikmati fasilitas ini. Tapi saya punya kelemahan yang membuat enggan memanfaatkannya terlalu sering. Saban main ke toko buku dalam kondisi kantong kempes, kepala saya kerap pening, jantung berdebar-debar, kaki lemas dan keringat menitik deras. Malamnya saya sukar tidur membayangkan buku incaran saya dijamah orang.
***

Gerak-Gerik bagi saya bukan sekadar toko buku.

Secara personal, tempat itu seperti peta penunjuk untuk menemukan wilayah-wilayah baru yang ikut membentuk diri saya.

Para sastrawan seperti Gabriel Garcia Marquez, Camilo Jose Cela, Herman Hesse, Knut Hamsun, Lu Hsun. Idrus dan John Steinbeck; esais dan kritikus macam Mahbub Djunaidi, Dami N. Toda dan HB. Jassin; bahkan para pembahas sepakbola seperti Franklin Foer, Simon Kuper dan Stefan Szymanski.

Tanpa Gerak-Gerik, nama-nama di atas mungkin hanya bisa saya baca di Wikipedia sambil mengira keagungan karya mereka. Saya tak bisa membayangkan hidup tanpa pengalaman spiritual yang saya rasakan saat dihanyutkan karya mereka.

Selain itu, Gerak-Gerik adalah saksi perubahan sosial di sekitar UIN Jakarta. Saya memulai kuliah di kampus itu ketika forum-forum kajian tengah jadi primadona. Saat itu sulit dipercaya anda telah tiga bulan kuliah di sana, tanpa mampu menunjukkan tempat-tempat kajian ternama di Ciputat.

Para jamaah forum-forum studi inilah yang menjadi konstituen setia tempat-tempat semacam Gerak-Gerik. Mereka yang menganggap forum studi sama pentingnya dengan ruang kuliah ini, secara regular menjadikan toko-toko buku sebagai taman bermainnya.

Memasuki paruh kedua dekade 2000-an, UIN mengalami banyak perubahan di berbagai aspek. Para mahasiswa kian disibukkan dengan tugas kuliah. Saya mengingat dengan jelas proses bergantinya buku-buku bacaan di tangan mahasiswa menjadi buku teks kuliah. Saya bahkan bisa mengingat mahasiswa terakhir yang setia membawa buku bacaan kala tengah nongkrong.

Perubahan ini ikut dirasakan toko-toko buku. Perlahan-lahan mereka menyingkirkan bermacam buku dari rak-raknya, menggantinya dengan sebatas buku teks. Tapi Gerak-Gerik tetap keras kepala.

Di saat-saat seperti itulah , sekitar lima tahun lalu, Tion menyatakan ingin meneladani para pedagang Cina, setelah sebelumnya mengeluhkan kian minimnya mahasiswa yang mendatangi Gerak-Gerik.

Saat itu ia juga sempat berkata, “hitung jumlah toko buku (di sekitar) yang masih bertahan. Itu indikator minat baca mahasiswa UIN”. Saya bisa mengingat keberadaan sekitar 17 toko buku di radius 1 km di sekeliling UIN Jakarta. Saat ini yang tersisa tinggal lima. Jika Tion benar, setidaknya masih ada Komaruddin Hidayat, rektor UIN, yang masih percaya lembaganya sebagai world class university.
***

Setelah obrolan tersebut, kami tak lagi punya kesempatan berbicara secara pribadi, hingga mendadak seorang kawan menyampaikan kabar tutupnya Gerak-Gerik.

Kali pertama mendengarnya, saya melengak kaget. Baru berjam-jam kemudian saya betul-betul menyadari bagian apa yang telah hilang dari kehidupan saya dan teman-teman yang berselera sama.

Kini setelah Gerak-Gerik tiada, saya jadi sadar betapa sedikit buku yang telah saya baca.



--------------------------------------------------------------------------------------------------------- "Ingin ikut berkontribusi sumbang tulisan? Baca halaman Undangan Berkontribusi"
Ikuti kami di twitter @anggurtorelli, dan halaman facebook Anggur Torelli

23 Sep 2012

Aku Bersamamu, Orang-Orang Malam!


Buku Catatan Harian 
Saya menulis ini di tengah-tengah persiapan menjemput salah satu kawan dari Semarang, Bunda Giri namanya. Rencananya, tanggal 11 Juni nanti, kami akan naik lagi ke Pangarango. Saya rindu suasananya. Mungkin karena Mandalawangi. Ya, tidak tahu juga. Yang jelas, kalau sedang tidak ada kesempatan untuk ke gunung di luar Jawa Barat, saya menyempatkan untuk berdoa dan merenung di Pangrango. Ini bukan bentuk paganisme, atau penyembahan terhadap gunung dan arca di sana, kok. Hanya merenungi ego saya sebagai manusia, karena di alamlah hal itu bisa muncul seketika saja, tanpa diminta.

Saya demikian cinta pada hal-hal yang kata orang mendekati absurditas. Kata-kata amsal, musik tak layak dengar, sastra, buku-buku, kopi, dan naik gunung. Teman-teman banyak yang protes terhadap kegilaan saya itu. Kata mereka, “Hari gini masih naik gunung. Gembel aja pada di Jakarta, elu orang kota malah naik gunung.”

Apa salahnya? Padahal saya tak merepotkan teman-teman. Saya tak pernah menurunkan indeks prestasi tiap semester. Dengan naik gunung saya masih bisa kuliah lewat perantara beasiswa. Saya jarang masuk kuliah karena lebih suka naik gunung. Saya tak pernah menganggap kuliah tatap muka sebagai suatu keharusan yang kadang bersifat formalitas absensi saja. Saya lebih suka datang semaunya dan tetap mempertahankan argumen juga nilai-nilai, ketika ujian. Itu lebih sederhana dan saya tak perlu mati lelah.

Semua ini tak ada hubungannya dengan sebuah film yang saya ingin ceritakan. Film ini bukan cerminan atas role model yang saya ikuti. Film ini mungkin malah membentuk citra dan refleksi akan diri saya. Sebelum saya menonton film ini, saya memang sudah suka naik gunung dan jadi sebegini skeptisnya. Jadi, tak perlulah menyangkut-pautkan film ini dengan perubahan saya. Yang jelas, refleksi film ini tergambar seperti saya. Entah kalau pendapat orang lain.

***

Sebelumnya, saya tak pernah mengenal sosok Soe Hok Gie. Siapa dia? Kok bisa sebegitu terkenal dan inspiratif? Apa dia pernah memindahkan mayat dari gunung ke kaki gunung, seperti saya? Dan jawabannya ada dari duo hibrida, buku dan filmnya. Buku dan film yang sangat menginspirasi pendaki gunung, pembela orang malam.

Buku ini berjudul Catatan Seorang Demonstran. Sedangkan, filmnya berjudul Gie. Disutradarai oleh sutradara favorit saya, yaitu Riri Riza yang menyerupai sosok Chairil Anwar agak ke-Widji Tukul-an. Dan dari filmnya, saya baru mendapatkan bukunya. Sebenarnya aneh, kalau menonton dulu baru membaca. Saya jadi agak kecewa. Banyak hal yang terpaksa dipangkas dari buku, karena durasi filmnya sendiri sudah lebih dari tiga jam. Dan saya rasa masih kurang, sehingga saya mengulang terus filmnya sampai bosan. Nyatanya, saya tak pernah bosan.

Di samping Nicholas Saputra, si sosok pujangga tampan di film AADC, saya menyukai setting dalam film ini. Riri Riza tampaknya berhasil membuat suasana di stasiun Gambir saat itu benar-benar mencekam, dalam teror pembantaian jenderal-jenderal. Selain itu, waktu film ini saya tonton pertama kali di medio 2006, saya sedang giat-giatnya naik gunung dan menjadi aktivis bebas. Teriak sana-sini dan melempari pintu kepala sekolah dengan semangatnya. Saya merasa ketidakadilan di tingkat STM saja sudah sebegitu parahnya, apalagi kalau nanti saya kuliah? Karena film ini, saya jadi menggemari buku-buku yang lebih aneh dari sebelumnya. Beberapa buku filsafat Albert Camus dan Nietzsche, saya habiskan dalam tiga hari. Kalau sekarang, seiring waktu, saya bertambah tua. Saya tua dan mudah bosan, apalagi membaca. Benar kata Kurt Cobain vokalis Nirvana di lagunya yang berjudul Serve the Servants. Katanya, “Teenage angst has paid off well. Now, I’m bored and old.”

Kadang, saya masih setia menonton Gie dan membaca catatan hariannya. Dia yang begitu membela orang malang, orang malam yang terbuang. Saya membacanya dan melarutkannya dalam hati saya. Hanya untuk memberi semangat hidup dan memberi jeda pada saya untuk berkaca akan masa muda. Hanya untuk melihat refleksi diri saya yang dulu sempat berlaku rebel seperti dia. Menggilai segala hal yang menuju absurditas, dan akhirnya mati kesepian. Ini yang saya takutkan. Sebenarnya, saya pun tak perlu berpikiran seperti itu, karena ketakutan saya hanya akan menambah susah hidup saja. Sebaiknya, saya nikmati sisa hidup sebagai orang yang begini, yang susah seperti saya. Susah berubah dan muluk terhadap sistem pemerintahan yang bersih, yang nyatanya sudah sulit dibersihkan bak kali Ciliwung.

Jika nanti jadi ke Pangrango lagi, bersama bisikan lembut angin, saya akan berdendang. Sama-sama kesepian, seperti Gie. Saya akan bersenandung lagu-lagu yang membuat saya akan bersatu dengan dia. Seperti mati moksa, mati yang tak sakit. Saya akan mengirim berita tentang sulitnya sistem yang buruk ini diubah, pasca kematiannya. Betapa kami, generasi yang lahir setelah empatlima, masih bersuara meski semakin terbungkam. Betapa kami, masih mengagumi sosok sederhana Gie dan selalu ingin kembali ke Mandalawangi. Di tanah ini, jasadnya tersebar. Abu jenazah hasil pembakarannya dituang dan bersatu dengan bumi. Kesepian yang seperti ini, saya rasa tak benar-benar sepi. Ada banyak teman seperjuangan yang mengenang sosok Gie.

Gie, seperti yang saya duga, berhasil menarik saya lebih jauh ke dalam hal-hal sederhana. Dengan sejumput kopi, sebatang coklat, sebuah buku dan satu panorama pegunungan, bisa membuat saya bahagia, meski terbelenggu kesepian. Memang itu yang saya butuhkan, tak terbantahkan. 

Saya ingin ke sana, ke Semeru. Di mana para dewa-dewa bersemayam dan nisan Gie terdiam muram. Akan saya bawakan kabar dan juga kisah bagaimana dia tetap dikenang, dalam film, dalam buku, dalam perbincangan. Sesungguhnya, aku bersamamu orang-orang malam. Orang-orang malang.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------- "Ingin ikut berkontribusi sumbang tulisan? Baca halaman Undangan Berkontribusi"
Ikuti kami di twitter @anggurtorelli, dan halaman facebook Anggur Torelli

29 Agu 2012

Berlibur ke Dataran Tortilla





John Steinbeck, pengarang novel Dataran Tortilla


Sampaikan maaf pada al-Hafidz Kurniawan, Abdullah Zuma Alawi, dan Ahmad Makki. Ketiganya mengajakku ikut menulis di Anggur Torelli sejak awal-awal penciptaannya. Bagi orang lain itu suatu kehormatan. Tapi bukan bagiku. Kau bahkan tak tahu siapa aku. Mana boleh tiga pesohor di atas memberiku hormat dengan cara ini? Kalau toh betul, pantaskah aku menerimanya? Alamak, sungguh malunya aku. Karena itu, tulisan ini baru sampai di hadapanmu.

Tadinya aku hendak menulis serentet kisah lucu dan menyebalkan dari kehidupan seorang bule misterius yang tak mau dipanggil mister. Namanya Mansur. Hidupnya menggembel di Ciputat, mondar-mandir di kantin atau warteg minta rokok serta makan sisa. Pagi dan siangnya habis di Perpustakaan Umum UIN Jakarta. Malamnya numpang di kontrakan mahasiswa, pribadi atau komunitas, sebelum kemudian diakhiri dengan masalah.

Tapi kita tunda membicarakan itu. Bolehkan aku mengurai besarnya kerugian selama hidupku. Rugi karena setelah tujuh tahun di Ciputat, baru bertemu Danny dkk. yang berumah di Dataran Torrilla.

Di jalan panjang ke pertemuan itu pun aku masih harus dituntun banyak orang. Mereka adalah Abdullah Zuma Alawi (Abah), Ahmad Makki, Dedik, al-Hafidz Kurniawan, dan beberapa lainnya. Ketangguhan dan kehebatan para penuntun itu terlihat nyata sangat begitu sudah berkumpul. Jika itu terjadi, tiada cara lain bagi awam sepertiku selain pasang headset dan pilih lagu senikmat-nikmatnya. Ini akan membantu menetralkan kondisi akibat kemampuanku yang low context. Sebab pergerakan kata dan kalimat mereka tak terduga. Ikatan dan kesatuan peristiwa yang mereka himpun begitu memabukkan. Membuat pendengar kelabakan dan kebingungan. Bahkan bisa lupa sedang di mana.

Sedang bagi awam yang buruk sangka, bisa mungkin mengira butuh akun khusus dan registrasi lebih dulu untuk gabung ngobrol bareng mereka. Sebab banyak keyword atau kata kunci yang sulit dipecahkan dan diterjemahkan. Demi mengatasi ini, Abah menyarankanku ke rumah Danny guna semedi, minta petuah atau sekadar ziarah dan berlibur wisata.

Pasal tak paham siapa Danny, makanan apa itu Torelli, sedatar apa Dataran Tortilla, aku tetap enggan. Hingga hembus demi hembus kata kutangkap dari tiap perbincangan tiga pesohor di atas menguap-uapkan aroma keindahan Dataran Tortilla. Mulailah penasaranku.

Akhirnya, dengan teknik khas, secara bergantian Abah dkk mengantar ke sebuah tempat yang sama sekali asing untukku. Itulah Dataran Tortilla. Di sana mereka menitipkanku pada seorang pemandu spesial bernama Djoko Lelono.

Aku termasuk orang yang lamban dan mudah lelah memahami banyak hal. Tapi Djoko Lelono begitu sabar mendampingiku, meski butuh sepekan menyelesaikan penjelajahan dan menikmati keindahan Dataran Tortilla.

Sekembalinya dari sana, sesekali takdir mengumpulkanku bersama Abah dkk. Satu demi satu kata kunci terbuka, meski belum semua. Setidaknya aku dapat meraba dan mengikuti alur perbincangan dan kecengan. Makin lama makin terang, walau tetap saja pandanganku suka kabur. Seperti nonton TV dengan penangkapan sinyal kurang sempurna. Kalau disesuaikan teori iluminasinya Suhrawardi, kualitas dan kadar cahaya mereka masih jauh di atasku.

Satu hal yang pasti dari aneka pengalaman di Dataran Tortilla plus para pengantarnya bahwa fokus itu perlu, tapi serius jangan terlalu. Ini mengingatkanku bahwa hidup di dunia ini tak lain hanya senda-gurau dan permainan. Maka jangan terlalu serius, biar enggak kehilangan selera humor. Sebab kehilangan selera humor berarti mengidap penyakit yang lebih parah dari tumor.

Sekali kala, cobalah pesan waktu kopdar dengan Abah dkk. Niscaya sesaat itu dunia takkan lagi terlihat sama. Kau akan menyaksikan mereka mampu menghidupkan apa saja yang ada di sekitar sebagai senjata pertempuran yang mengasyikkan. Banyak pula ilmu kanuragan dalam bentuk cerita, kata-kata, bahkan kentut dan sebagainya yang bisa kau serap.

Tapi ingat, sejatinya ilmu kanuragan itu mustahil diajarkan atau dipelajari, melainkan tergantung kapasitas penerimanya. Maka sebelum bertemu, baiknya kosongkan hati, pikiran, perasaan, dan jiwa agar muat mewadahi dan menerimanya. Satu lagi, jangan sekali-kali percaya isi tulisan ini, karena tak seorang pun bertanggungjawab atas segala konsekuensinya. Jika tidak, sesuatu yang brengsek akan Anda …. (isi sendiri).
 
--------------------------------------------------------------------------------------------------------- "Ingin ikut berkontribusi sumbang tulisan? Baca halaman Undangan Berkontribusi"
Ikuti kami di twitter @anggurtorelli, dan halaman facebook Anggur Torelli

31 Mei 2012

Pemberontakan Ala Boombox Monger


Homicide
Saya mencintai musik lebih banyak daripada buku. Saya memang lahir di kalangan pemusik. Keluarga pemusik. Kala itu ayah masih dengan bangganya mempertahankan jazz fusion dari permainan gitarnya. Sedangkan saya lebih memilih jalan grunge underground ketika menjadi gitaris dan drummer sebuah band indie.


Saya mencintai musik sampai saya skeptis dan bisa saja jadi memarahi orang jika ada yang tak sependapat. Teman saya sering mengatakan itu. Katanya saya skeptis, apalagi jika sudah menyangkut musik dan buku. Entah kalau disandingkan dengan orang skeptis lainnya, mungkin saya bisa saja kalah. Tapi kalau sudah ada yang membantah saya, saya lebih banyak tak mau terima.

Musik saya tak berhenti di situ-situ saja. Berbagai jenis musik yang kuat dari segi lirik juga, sering saya bahas bersama beberapa teman pemusik di komunitas saya. Dan dalam kurun beberapa tahun terakhir -di samping membahas Efek Rumah Kaca- saya malah membahas salah satu grup musik yang sekarang ini sudah tak lagi tampil. Sudah vakum total. Sayang sekali padahal. Dan mungkin, kalau kalian mendengarkannya juga, kalian akan terkesima. Musik ini mengusung tema pemberontakan, sebuah orasi besar-besaran untuk menantang tirani. Musik ini membawa kita pada era tahun 90-an ketika musik alternatif yang tergerus hip-hop masih mendunia. Musik ini adalah pemberontakan ala boombox monger.

***

Mendengar boombox kita pasti ingat akan sebuah kotak besar yang dibawa musisi hip-hop kemanapun. Sebuah kotak musik yang bisa meledakkan apa saja dan membuat semua orang berjoget. Di jalanan, di pelataran gedung yang kapitalis, dan di depan tempat-tempat praktik kemaksiatan yang bisa dihancurkan begitu saja. Dan oleh grup musik satu ini, boombox menjadi kekuatan terbesar, di samping lirik-lirik yang sarat akan realisme sosial. Oh ya, saya belum menyebutkan nama grupnya sedari tadi. Kira-kira ada yang tahu tidak? Ada yang bisa menebak atau tidak?

Namanya Homicide. Grup musik ini digawangi oleh Ucok yang rajin sekali menulis catatan harian bak Soe Hok Gie, dan rajin sekali membaca buku-buku Salman Rushdie. Orangnya sangat kiri dan bawah tanah sekali. Pada masa Orde Baru, mungkin grup musik ini satu-satunya yang tidak diketahui, meskipun liriknya menyorot penguasa tiran pada masa itu.

Beberapa lagunya memang mengandung lirik yang sangat sulit dipikirkan oleh manusia pada umumnya, karena memang lebih menyerempet pada keindahan sastra yang dibalut realita. Seperti membaca jurnalisme sastrawi, mungkin seperti inilah kiranya gambaran dari Homicide.

Skeptisisme saya lahir dari mereka. Tak jarang saya jadi termotivasi juga untuk melakukan berbagai pemberontakan. Saya hanya bisa sampai berdemo saja, tidak benar-benar sampai memberi surat kaleng pada penguasa. Dan saya rasa Ucok sudah sampai tahap surat kaleng itu. Maka dari itulah, saya menelan bulat-bulat apa yang Ucok sebutkan dalam tiap lagu, karena memang benar begitu adanya. Tak perlu ada yang takut termanipulasi, karena Ucok melahirkan realita di dalam musiknya.

Soal musik, mungkin tak banyak yang bisa didapatkan masyarakat awam. Musik Homicide hanya terpaku pada beatbox dari mulut sendiri, dee-jay yang memutar-mutar piringan raksasa, dan hanya sebuah orasi kata-kata dalam bit seorang rapper. Itu saja. Tak ada gitar, tak ada melodi-melodi menyayat hati, dan tak ada dinamika. Dinamika lebih ditekankan dari permainan kata-kata Ucok dan orasi Ucok yang sangat membara.

Saya senang ketika mendengar ini. Ucok seperti membawa kita untuk ikut berteriak-teriak di tengah khalayak. Padahal, Ucok adalah pemusik, bukan orator seperti Bung Karno.

Yang membuat saya tak habis pikir, kenapa saya jadi mau-maunya mencari istilah-istilah asing dari lagu-lagu Ucok? Sepertinya saya sudah semakin gila saja akan keampuhan lirik Homicide dalam menantang tirani. Terlebih lagi, lagu-lagunya seperti Sajak Suara, Siti Djenar Chyperdrive, Barisan Nisan, Tantang Tirani, dan lagu-lagu lain telah mengawang-awang di pangkal pikiran saya. Seperti hendak meledak dan terus menyeruak dan berteriak. Lagu-lagu ini membuat saya bangkit berdiri dan harus menyadari akan satu hal yang tak mungkin lekang dari pemerintahan kita, sebuah feodalisme yang melekat.

Kita sudah dibentuk sedari kecil dengan mental feodal, dimana kita akan terus menjadi yang tersisih dari pemerintahan yang tiran. Mental ini pun sempat dibahas ketika seminar Reformasi Birokrasi yang sempat digelar pada 26 Mei lalu. Kala itu, saya hanya bisa tersenyum sinis menanggapi semuanya sambil berkata, “Cih! Memang busuk sekali doktrin reformasi birokrasi seperti ini!”

Sambil terus memegang teguh jiwa pemberontakan ala Homicide dan membuang jauh-jauh mental feodal, saya katakan bahwa saya ini termasuk orang yang sedemikian skeptis. Tak mengapa jika nantinya semua sifat saya ini akan runtuh seiring waktu. Yang jelas, selagi muda, saya akan menendang jauh mental feodal dalam diri agar tak melulu bisa dikalahkan oleh tingkatan-tingkatan sosial yang kadang membuat manusia terpecah belah.

Sebagai rakyat Indonesia, saya merasa satu dan saya merasa harus bersuara. Sebentuk sajak suara ini mungkin jadi jawabannya.

Sajak Suara - Homicide
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku

suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakan!

sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?

sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan


Bagaimanapun, meski Ucok dan Homicide berhenti berontak, saya tetap akan berteriak. Saya akan tetap begini dan skeptis seperti ini. Jiwa anak muda memang harusnya begini bukan? Saya pun tak akan rela jika harus berlama-lama menerima pahitnya tata cara “mereka” memerintah Indonesia. Ah entahlah, saya rasa konsumsi buku saya sudah kelewat batas.


---------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Ingin ikut berkontribusi sumbang tulisan? Baca halaman Undangan Berkontribusi"
Ikuti kami di twitter @anggurtorelli, dan halaman facebook Anggur Torelli

29 Mei 2012

Termotivasi Kuliah Gara-gara Chiken Soup



Chicken Soup for College Soul
Sastra adalah tema yang asing buat saya. Namun sejak membaca Blog Anggur Torelli, mengenal sastra seakan menjadi pekerjaan rumah (PR). Syukur-syukur jika nantinya sampai berbuah artikel tandingan dari cerita yang ditulis oleh Ahmad Makki, Hidup Saya Sejak Membaca Dataran Tortilla. Maklumlah selama ini saya hanya melahap buku-buku bertema motivasi, seperti Chiken Soup.

Perihal Chicken Soup, dulu saya pertama mendapati sebuah seri buku ini di barisan rak buku Iqbal, salah satu teman dekat saya. Penasaran, saya sambar bacaan tersebut dengan harapan dapat menjadi bekal saat kuliah sesuai dengan anak judul “For the College Soul” yang bertengger di sampulnya.

"Buku bagus itu,” Iqbal memprovokasi. Belakangan saya tak yakin dia sudah membaca dan memahami isinya. Buktinya saat saya ketagihan membaca dan berniat meminjamnya, dengan enteng Iqbal mengatakan, “bawa pulang aja". Di rumah, tak habis-habisnya saya membaca sambil mengagumi buku itu. Dua hari saya tersandera.

Setelah membaca, saya jadi ingat sebentar lagi ujian kelulusan sekolah. Saya selalu membayangkan untuk melanjukan pendidikan ke perguruan tinggi. Hal tersebut berusaha saya pendam karena kondisi ekonomi keluarga. Belum lagi menghitung jumlah saudara kandung saya cukup banyak dan juga butuh ongkos. Bahkan untuk membayar ongkos Ujian Nasional saya pun orangtua masih kebingungan.

Hampir setahun sebelumnya, sekitar tahun 2003, saat mulai masuk kelas III Aliyah, orangtua saya terpaksa datang ke sekolah demi minta keringanan SPP. Syukurlah permohonan ini dikabulkan. Bahkan saya dibolehkan tidak membayar SPP selama satu tahun. Syaratnya setiap awal bulan saya mesti mengambil nota bebas bayaran dari kepala yayasan, lalu meminta stempel lunas di kartu SPP kepada bagian Tata Usaha. Karena hal itu, di sekolah saya kerap merasa malu.

Tetapi sudahlah. Meski nanti tak bisa kuliah, paling tidak Chiken Soup berhasil membuat saya jadi tertarik lebih banyak membaca. Hampir setiap pulang sekolah saya berjalan kaki demi mengunjungi toko buku Gunung Agung, Bekasi. Kebetulan toko buku tersebut yang paling dekat dengan sekolah saya. Apalagi di sana pengunjung dibolehkan membaca buku-buku yang tak tersegel.

Suatu kali saya temukan majalah Higher Learning yang memuat artikel Kejar Beasiswa!. Majalah ini menjelaskan asal usul beasiswa, direktori beasiswa dalam dan luar negeri, serta untuk siapa diberikan. Kebetulan beberapa hari sebelumnya saya juga sempat ikut seminar dengan judul "Kemana setelah SMU?" Dua peristiwa ini membuat saya kembali percaya, saya bisa lulus dan melanjutkan kuliah asal mau berusaha.

Saat itu waktu pendaftaran Ujian Akhir Nasional (UAN) semakin dekat. Saya perlu biaya sekitar 800 ribu. Lewat petunjuk majalah di atas, saya berberniat mendatagi kantor sebuah lembaga sosial. Untuk pertama kalinya saya “pergi jauh” sendirian dari Bekasi. Saya susuri Jl. Ir. H. Juanda, Ciputat, mencari alamat yang dituju.

Kantor lembaga tersebut tak jauh dari UIN Jakarta, kampus yang kelihatannya baru dipugar besar-besaran. Saya terpikir untuk kuliah di sana. Tapi sekarang yang paling penting adalah mengajukan permohonan bantuan biaya. Saya masuk kantor lembaga sosial tersebut sambil membawa rincian biaya dari sekolah. Dari sana saya mendapat separuh dari jumlah kebutuhan (400 ribu). Sisanya dipenuhi orangtua.

Di sekolah, saya mengajukan permohonan ikut jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) untuk UIN Jakarta. Saat UAN selesai, saya mendapat peringkat pertama Jurusan Bahasa di sekolah. Ini tentu jadi pertimbangan kuat sekolah memprioritaskan permohonan saya. Impian pun terlaksana. Saya mengikuti ujian masuk di UIN Jakarta, dan berhasil lulus.

Tapi persoalan lain sudah menunggu. Dalam waktu satu minggu saya harus membayar uang masuk sekitar 2 juta. Tak terpikirkan sama sekali bagaimana saya bakal mendapat uang sebanyak itu. orangtua saya pun bingung. Usaha penebangan kayu dan pembuatan kusennya tengah sepi.

Maka selama tiga hari saya datangi beberapa lembaga sosial yang punya program pemberian beasiswa. Bahkan Dirjen Perguruan Tinggi (DIKTI) saya kirimi surat. Tapi semua lembaga sosial mengatakan, "tidak ada beasiswa untuk calon mahasiswa”. Program mereka ditujukan untuk mahasiswa semester dua sampai enam. Surat untuk DIKTI pun tak kunjung berbalas.

Pada petang hari ketiga pencarian, saya baru pulang ketika ayah memberikan uang senilai 2 juta. Saya tentu keheranan.

"Ini uang dari mana?"
“Jual tanah kontrakan yang 50 meter. Dapat 20 juta," kata ibu.

Air mata saya langsung tumpah seketika. Entah ini sebuah berkah atau cambukan. Yang pasti saya bisa melanjutkan pendidikan. Saya sadar orangtua telah berusaha semampu mereka bisa. Maka saya berusaha untuk tak lagi merepotkan. Selama di kampus, kegiatan mengejar segala sumber beasiswa rutin saya lakukan.

Sampai kapan pun tak mungkin saya lupakan usaha yang telah orangtua lakukan demi saya. Tapi saya juga akan selalu ingat bagaimana awalnya Chicken Soup membuat percaya, bahwa impian melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah bisa saya kejar.





"Ingin ikut berkontribusi sumbang tulisan? Baca halaman Undangan Berkontribusi"
Ikuti kami di twitter @anggurtorelli, dan halaman facebook Anggur Torelli
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...