23 Sep 2012

Aku Bersamamu, Orang-Orang Malam!


Buku Catatan Harian 
Saya menulis ini di tengah-tengah persiapan menjemput salah satu kawan dari Semarang, Bunda Giri namanya. Rencananya, tanggal 11 Juni nanti, kami akan naik lagi ke Pangarango. Saya rindu suasananya. Mungkin karena Mandalawangi. Ya, tidak tahu juga. Yang jelas, kalau sedang tidak ada kesempatan untuk ke gunung di luar Jawa Barat, saya menyempatkan untuk berdoa dan merenung di Pangrango. Ini bukan bentuk paganisme, atau penyembahan terhadap gunung dan arca di sana, kok. Hanya merenungi ego saya sebagai manusia, karena di alamlah hal itu bisa muncul seketika saja, tanpa diminta.

Saya demikian cinta pada hal-hal yang kata orang mendekati absurditas. Kata-kata amsal, musik tak layak dengar, sastra, buku-buku, kopi, dan naik gunung. Teman-teman banyak yang protes terhadap kegilaan saya itu. Kata mereka, “Hari gini masih naik gunung. Gembel aja pada di Jakarta, elu orang kota malah naik gunung.”

Apa salahnya? Padahal saya tak merepotkan teman-teman. Saya tak pernah menurunkan indeks prestasi tiap semester. Dengan naik gunung saya masih bisa kuliah lewat perantara beasiswa. Saya jarang masuk kuliah karena lebih suka naik gunung. Saya tak pernah menganggap kuliah tatap muka sebagai suatu keharusan yang kadang bersifat formalitas absensi saja. Saya lebih suka datang semaunya dan tetap mempertahankan argumen juga nilai-nilai, ketika ujian. Itu lebih sederhana dan saya tak perlu mati lelah.

Semua ini tak ada hubungannya dengan sebuah film yang saya ingin ceritakan. Film ini bukan cerminan atas role model yang saya ikuti. Film ini mungkin malah membentuk citra dan refleksi akan diri saya. Sebelum saya menonton film ini, saya memang sudah suka naik gunung dan jadi sebegini skeptisnya. Jadi, tak perlulah menyangkut-pautkan film ini dengan perubahan saya. Yang jelas, refleksi film ini tergambar seperti saya. Entah kalau pendapat orang lain.

***

Sebelumnya, saya tak pernah mengenal sosok Soe Hok Gie. Siapa dia? Kok bisa sebegitu terkenal dan inspiratif? Apa dia pernah memindahkan mayat dari gunung ke kaki gunung, seperti saya? Dan jawabannya ada dari duo hibrida, buku dan filmnya. Buku dan film yang sangat menginspirasi pendaki gunung, pembela orang malam.

Buku ini berjudul Catatan Seorang Demonstran. Sedangkan, filmnya berjudul Gie. Disutradarai oleh sutradara favorit saya, yaitu Riri Riza yang menyerupai sosok Chairil Anwar agak ke-Widji Tukul-an. Dan dari filmnya, saya baru mendapatkan bukunya. Sebenarnya aneh, kalau menonton dulu baru membaca. Saya jadi agak kecewa. Banyak hal yang terpaksa dipangkas dari buku, karena durasi filmnya sendiri sudah lebih dari tiga jam. Dan saya rasa masih kurang, sehingga saya mengulang terus filmnya sampai bosan. Nyatanya, saya tak pernah bosan.

Di samping Nicholas Saputra, si sosok pujangga tampan di film AADC, saya menyukai setting dalam film ini. Riri Riza tampaknya berhasil membuat suasana di stasiun Gambir saat itu benar-benar mencekam, dalam teror pembantaian jenderal-jenderal. Selain itu, waktu film ini saya tonton pertama kali di medio 2006, saya sedang giat-giatnya naik gunung dan menjadi aktivis bebas. Teriak sana-sini dan melempari pintu kepala sekolah dengan semangatnya. Saya merasa ketidakadilan di tingkat STM saja sudah sebegitu parahnya, apalagi kalau nanti saya kuliah? Karena film ini, saya jadi menggemari buku-buku yang lebih aneh dari sebelumnya. Beberapa buku filsafat Albert Camus dan Nietzsche, saya habiskan dalam tiga hari. Kalau sekarang, seiring waktu, saya bertambah tua. Saya tua dan mudah bosan, apalagi membaca. Benar kata Kurt Cobain vokalis Nirvana di lagunya yang berjudul Serve the Servants. Katanya, “Teenage angst has paid off well. Now, I’m bored and old.”

Kadang, saya masih setia menonton Gie dan membaca catatan hariannya. Dia yang begitu membela orang malang, orang malam yang terbuang. Saya membacanya dan melarutkannya dalam hati saya. Hanya untuk memberi semangat hidup dan memberi jeda pada saya untuk berkaca akan masa muda. Hanya untuk melihat refleksi diri saya yang dulu sempat berlaku rebel seperti dia. Menggilai segala hal yang menuju absurditas, dan akhirnya mati kesepian. Ini yang saya takutkan. Sebenarnya, saya pun tak perlu berpikiran seperti itu, karena ketakutan saya hanya akan menambah susah hidup saja. Sebaiknya, saya nikmati sisa hidup sebagai orang yang begini, yang susah seperti saya. Susah berubah dan muluk terhadap sistem pemerintahan yang bersih, yang nyatanya sudah sulit dibersihkan bak kali Ciliwung.

Jika nanti jadi ke Pangrango lagi, bersama bisikan lembut angin, saya akan berdendang. Sama-sama kesepian, seperti Gie. Saya akan bersenandung lagu-lagu yang membuat saya akan bersatu dengan dia. Seperti mati moksa, mati yang tak sakit. Saya akan mengirim berita tentang sulitnya sistem yang buruk ini diubah, pasca kematiannya. Betapa kami, generasi yang lahir setelah empatlima, masih bersuara meski semakin terbungkam. Betapa kami, masih mengagumi sosok sederhana Gie dan selalu ingin kembali ke Mandalawangi. Di tanah ini, jasadnya tersebar. Abu jenazah hasil pembakarannya dituang dan bersatu dengan bumi. Kesepian yang seperti ini, saya rasa tak benar-benar sepi. Ada banyak teman seperjuangan yang mengenang sosok Gie.

Gie, seperti yang saya duga, berhasil menarik saya lebih jauh ke dalam hal-hal sederhana. Dengan sejumput kopi, sebatang coklat, sebuah buku dan satu panorama pegunungan, bisa membuat saya bahagia, meski terbelenggu kesepian. Memang itu yang saya butuhkan, tak terbantahkan. 

Saya ingin ke sana, ke Semeru. Di mana para dewa-dewa bersemayam dan nisan Gie terdiam muram. Akan saya bawakan kabar dan juga kisah bagaimana dia tetap dikenang, dalam film, dalam buku, dalam perbincangan. Sesungguhnya, aku bersamamu orang-orang malam. Orang-orang malang.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------- "Ingin ikut berkontribusi sumbang tulisan? Baca halaman Undangan Berkontribusi"
Ikuti kami di twitter @anggurtorelli, dan halaman facebook Anggur Torelli

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...