Oleh: Ahmad Makki
Time: Iwan Fals pahlawan Asia |
Sejak
tren gitar masuk desa menginvasi kampung saya, perubahan dialami bocah-bocah
beranjak remaja. Mereka ogah aktivitas bertemu teman disebut “bermain”. Sebagai
ganti istilah ”nongkrong” diajukan. Dan perkumpulan baru sah disebut nongkrong kalau sudah melibatkan gitar.
Saat itu pertengahan era 1990-an. Saya larut dalam gelombang tersebut.
Bocah-bocah
yang dulu mengidolakan Susan dan Ria Enes, mendadak goyah pendirian. Sosok
boneka bersuara cempreng yang berduet dengan seorang perempuan dewasa tak lagi
dianggap mewakili. Serentak pergulatan massal para remaja senewen mencari idola
baru terjadi.
Entah
tersebab kekuatan apa, seorang pria gondrong keriwil dan hobi bertelanjang dada
di panggung, ramai-ramai dielu-elukan. Dari tongkrongan ke tongkrongan, merk,
warna, bentuk dan kualitas gitar boleh tak sama, tapi lagunya tetap Iwan Fals belaka.
Keputusan ini bersifat nyaris aklamasi meski tak lewat rapat atau pemungutan
suara. Seorang dua tentu ada yang coba-coba mencari idola di jalur kasidah atau
dangdut. Tapi jumlahnya tak seberapa
Tanpa
katrolan gosip, juga sonder iklan, popularitas Iwan Fals secara ajaib berkibar
seantero kampung. Kaset-kasetnya laku keras, asli maupun bajakan. Posternya
menghias kamar demi kamar. Foto sang idola menyeludup ke dompet-dompet. Syair-syair
lagunya dikutip dalam coretan-coretan di tembok umum. Gerakan ini tak didorong
mesin politik manapun. Hingga kini juga tak ada bukti gejala ini bagian dari
rekayasa Freemason, pemuja iblis, apalagi sokongan dana Amerika.
Para
remaja tersebut mestilah berpikir Ujung
Aspal Pondok Gede bercerita tentang desa mereka. Saban malam mereka
nyanyikan, “…di jalanan kami sandarkan
cita-cita”, sembari memandang satu dua kendaraan lewat. Sore, ketika bermain
bola di lapangan-lapangan darurat, lagu Mereka
Ada di Jalan mengiang-ngiang di kepala. Ada
juga yang diam-diam mulai kepingin meminjam buku seorang gadis, buat menulis
sajak indah.
Ada
sebuah lagu Iwan Fals tentang liburan keluarga miskin. Tokohnya lelaki yang
menunggu anak istri bersiap jelang berangkat. Iwan Fals menyebut mereka “kaum
kusam”. Maka seperti filosof Jean Paul Sartre melakukan “bunuh diri kelas” dan melebur
jiwa bersama kaum buruh, remaja di kampung saya berbodong-bondong menyebut diri
sebagai bagian dari kaum kusam.
Boleh
jadi mereka menganggap Iwan Fals tak banyak beda dengan para nabi, sekurang-kurangnya
kiai. Pembawa kabar hal-hal yang belum pernah mereka dengar. Barangkali sebelum
Al Gore koar-koar kesana kemari, mereka sudah lebih dulu khawatir dengan
pohon-pohon yang ditumbangkan. Tanpa membaca koran, mereka tahu negara dikalahkan
korupsi dan ketidakadilan. Ini tanggung jawab Iwan Fals sepenuhnya.
Sekitar
tahun 1998, ibukota dihujani demonstrasi. Para remaja kampung saya sama sekali
tak paham artinya. Betapapun urakannya mereka, perilaku berteriak-teriak
membawa spanduk sambil menantang polisi dan tentara, memblokir jalan dengan membakar
ban, bukanlah hal yang berani mereka bayangkan. Tapi protes-protes para
demonstran kelihatannya nyambung
dengan lagu-lagu sang idola. Maka mereka sepakat saja, meski tak ikut berpeluh.
***
Di
awal periode saya kuliah, Iwan Fals menyiarkan album baru, Suara Hati. Kualitasnya anjlok dibanding yang sudah-sudah, baik
diteropong dari segi musikal maupun syair. Tapi penggemar orang ini tak ada
surut-surutnya.
Kampus
saya waktu itu punya delapan fakultas, terbagi di dua tempat. Keduanya dipisah
jarak sekitar 30 menit berjalan santai. Tapi jarak tak jadi halangan bagi saya
mengoleksi teman di tiap fakultas dan titik sosial lainnya. Bergonta-ganti
tempat nongkrong di tiap fakultas bukan hal aneh buat saya. Bahkan ikut kelas
perkuliahannya.
Karya
Iwan Fals kala itu tak ubahnya tiket terusan bagi saya. Memudahkan untuk masuk di
berbagai komunitas. Mereka yang tak cukup perbendaharaan lagu Bang Iwan di
ingatannya bakal keki habis-habisan. Tak jarang seorang atau dua sampai menyelongkar
koleksi toko-toko kaset buat memerbaiki referensi.
Namun
hanya karena dua orang temanlah, Asep Sofyan dan Abdullah Alawi, pandangan saya
terhadap Iwan Fals meluas. Mereka adalah pecandu sastra kelas berat dan penulis
hebat. Paham seluk-beluk susastra negeri ini. Lewat koleksi buku mereka yang diam-diam saya teroka, tak jarang lewat menguping
pembicaraan, saya mencicil pelajaran sastra.
Asep
mengajari saya apa itu puisi. Apa bedanya dengan coretan para remaja yang
mengungkapkan gundah hati pada halaman terakhir buku, di sela jam pelajaran. Bagaimana
melihat kalimat Sapardi, “Mei, bulan kita itu, belum ditinggalkan penghujan,”
sebagai kalimat langsing tapi padat berisi.
Dari
Alawi, penulis Persekongkolan Steinbeck dan Paisano Tortilla, saya dibekali pengetahuan soal kalimat-kalimat realis
yang bercahaya. Kesederhanaan yang dipenuhi berkah buat para pembaca. John
Steinbeck, Ahmad Tohari dan Mahbub Djunaidi, selalu menulis dengan cara yang
ringan, tapi mampu membuat imajinasi pembaca keluyuran ke mana-mana.
Sejak
itu, bagi saya Iwan Fals bukan sekadar lelaki gondrong yang sinis, tukang
protes segala hal yang lewat di depan mata dan ingatannya. Ia salah satu
penulis puisi-puisi paling indah. Pernah saya sesunggukan sehabis mendengar
lagu Aku di Sini.
Iwan
Fals juga ikut meloloskan bahasa Indonesia dari perangkap birokrasi yang
bertele-tele. Model bahasanya tak ditemukan di program rutin TVRI, Dunia Dalam Berita, juga dalam seminar-seminar
yang judulnya panjang dan sukar dicerna.
Kata-kata
yang disampaikan Iwan Fals adalah metafora yang mewakili pengalaman hidup
banyak orang. Siapa tak paham maksud dari “tikus kantor” dan “Guru Oemar Bakrie”?
Seperti Chairil Anwar, syair-syairnya menjadi milik bersama. Karya-karyanya
menjadi cermin kondisi bangsa. Inilah setinggi-tingginya puisi!
Ketika
industri musik tanah air mulai mengalami gegar otak, banyak penikmat musik terbawa
gelombang tren. Tapi Bang Iwan tak henti-hentinya menginspirasi banyak orang. Saya
dan teman-teman yang tumbuh bersama lagu-lagu Iwan Fals, mana tahan mendengar
lagu-lagu model begituan.
Sampai
kini, berkat pergaulan, selera musik saya kian beragam. Apalagi sekarang banyak
juga musikus-musikus kita yang punya kualitas bagus, meski kurang disukai
pemilik televisi. Sedikit-sedikit ada juga karya musikus luar negeri yang
mampir ke telinga. Namun saban mendengar lagu-lagu Iwan Fals, saya merasa
pulang.
Sebetulnya
saya selalu berharap lagu-lagu Iwan Fals yang penuh kritik dan satir baiknya
masuk museum saja. Sesekali diputar lagi sekadar buat mengingat masa lalu. Tapi
saban diputar, lagu-lagunya seperti baru diciptakan hari ini. Diciptakan untuk
hari ini.
"Ingin ikut berkontribusi sumbang tulisan? Baca halaman Undangan Berkontribusi"
Ikuti kami di twitter @anggurtorelli, dan halaman facebook Anggur Torelli
iya bro, iwan pales selalu menyuguhkan realitas yang selalu menyentil hati nurani. tapi belakangan lagunya jadi cinta-cintaan gitu yes?
BalasHapuspertamax nih.. BTW kok saya gk nyambung y ma judul..
BalasHapusHabis garong hambur uang peduli syetan!
BalasHapusMembaca tulisan di atas, saya teringat tulisan Andreas terkait dari Dewa Leuwinanggung ini
BalasHapusDi rumah ini aku dilahirkan, di balai bambu buah tangan Bapakku. :D
BalasHapusOm Tanto berjaya!
cetarrrrr....... terimaksih untuk penulis yang sedikt mengispirasi mata batin...........
BalasHapus