27 Mei 2012

Di Bawah Asuhan Iwan Fals



Time: Iwan Fals pahlawan Asia
Sejak tren gitar masuk desa menginvasi kampung saya, perubahan dialami bocah-bocah beranjak remaja. Mereka ogah aktivitas bertemu teman disebut “bermain”. Sebagai ganti istilah ”nongkrong” diajukan. Dan perkumpulan baru sah disebut nongkrong kalau sudah melibatkan gitar. Saat itu pertengahan era 1990-an. Saya larut dalam gelombang tersebut.

Bocah-bocah yang dulu mengidolakan Susan dan Ria Enes, mendadak goyah pendirian. Sosok boneka bersuara cempreng yang berduet dengan seorang perempuan dewasa tak lagi dianggap mewakili. Serentak pergulatan massal para remaja senewen mencari idola baru terjadi.

Entah tersebab kekuatan apa, seorang pria gondrong keriwil dan hobi bertelanjang dada di panggung, ramai-ramai dielu-elukan. Dari tongkrongan ke tongkrongan, merk, warna, bentuk dan kualitas gitar boleh tak sama, tapi lagunya tetap Iwan Fals belaka. Keputusan ini bersifat nyaris aklamasi meski tak lewat rapat atau pemungutan suara. Seorang dua tentu ada yang coba-coba mencari idola di jalur kasidah atau dangdut. Tapi jumlahnya tak seberapa

Tanpa katrolan gosip, juga sonder iklan, popularitas Iwan Fals secara ajaib berkibar seantero kampung. Kaset-kasetnya laku keras, asli maupun bajakan. Posternya menghias kamar demi kamar. Foto sang idola menyeludup ke dompet-dompet. Syair-syair lagunya dikutip dalam coretan-coretan di tembok umum. Gerakan ini tak didorong mesin politik manapun. Hingga kini juga tak ada bukti gejala ini bagian dari rekayasa Freemason, pemuja iblis, apalagi sokongan dana Amerika.

Para remaja tersebut mestilah berpikir Ujung Aspal Pondok Gede bercerita tentang desa mereka. Saban malam mereka nyanyikan, “…di jalanan kami sandarkan cita-cita”, sembari memandang satu dua kendaraan lewat. Sore, ketika bermain bola di lapangan-lapangan darurat, lagu Mereka Ada di Jalan mengiang-ngiang di kepala. Ada juga yang diam-diam mulai kepingin meminjam buku seorang gadis, buat menulis sajak indah.

Ada sebuah lagu Iwan Fals tentang liburan keluarga miskin. Tokohnya lelaki yang menunggu anak istri bersiap jelang berangkat. Iwan Fals menyebut mereka “kaum kusam”. Maka seperti filosof Jean Paul Sartre melakukan “bunuh diri kelas” dan melebur jiwa bersama kaum buruh, remaja di kampung saya berbodong-bondong menyebut diri sebagai bagian dari kaum kusam.

Boleh jadi mereka menganggap Iwan Fals tak banyak beda dengan para nabi, sekurang-kurangnya kiai. Pembawa kabar hal-hal yang belum pernah mereka dengar. Barangkali sebelum Al Gore koar-koar kesana kemari, mereka sudah lebih dulu khawatir dengan pohon-pohon yang ditumbangkan. Tanpa membaca koran, mereka tahu negara dikalahkan korupsi dan ketidakadilan. Ini tanggung jawab Iwan Fals sepenuhnya.

Sekitar tahun 1998, ibukota dihujani demonstrasi. Para remaja kampung saya sama sekali tak paham artinya. Betapapun urakannya mereka, perilaku berteriak-teriak membawa spanduk sambil menantang polisi dan tentara, memblokir jalan dengan membakar ban, bukanlah hal yang berani mereka bayangkan. Tapi protes-protes para demonstran kelihatannya nyambung dengan lagu-lagu sang idola. Maka mereka sepakat saja, meski tak ikut berpeluh.


***

Di awal periode saya kuliah, Iwan Fals menyiarkan album baru, Suara Hati. Kualitasnya anjlok dibanding yang sudah-sudah, baik diteropong dari segi musikal maupun syair. Tapi penggemar orang ini tak ada surut-surutnya.

Kampus saya waktu itu punya delapan fakultas, terbagi di dua tempat. Keduanya dipisah jarak sekitar 30 menit berjalan santai. Tapi jarak tak jadi halangan bagi saya mengoleksi teman di tiap fakultas dan titik sosial lainnya. Bergonta-ganti tempat nongkrong di tiap fakultas bukan hal aneh buat saya. Bahkan ikut kelas perkuliahannya.

Karya Iwan Fals kala itu tak ubahnya tiket terusan bagi saya. Memudahkan untuk masuk di berbagai komunitas. Mereka yang tak cukup perbendaharaan lagu Bang Iwan di ingatannya bakal keki habis-habisan. Tak jarang seorang atau dua sampai menyelongkar koleksi toko-toko kaset buat memerbaiki referensi.

Namun hanya karena dua orang temanlah, Asep Sofyan dan Abdullah Alawi, pandangan saya terhadap Iwan Fals meluas. Mereka adalah pecandu sastra kelas berat dan penulis hebat. Paham seluk-beluk susastra negeri ini. Lewat koleksi buku mereka yang diam-diam saya teroka, tak jarang lewat menguping pembicaraan, saya mencicil pelajaran sastra.

Asep mengajari saya apa itu puisi. Apa bedanya dengan coretan para remaja yang mengungkapkan gundah hati pada halaman terakhir buku, di sela jam pelajaran. Bagaimana melihat kalimat Sapardi, “Mei, bulan kita itu, belum ditinggalkan penghujan,” sebagai kalimat langsing tapi padat berisi.

Dari Alawi, penulis Persekongkolan Steinbeck dan Paisano Tortilla, saya dibekali pengetahuan soal kalimat-kalimat realis yang bercahaya. Kesederhanaan yang dipenuhi berkah buat para pembaca. John Steinbeck, Ahmad Tohari dan Mahbub Djunaidi, selalu menulis dengan cara yang ringan, tapi mampu membuat imajinasi pembaca keluyuran ke mana-mana.

Sejak itu, bagi saya Iwan Fals bukan sekadar lelaki gondrong yang sinis, tukang protes segala hal yang lewat di depan mata dan ingatannya. Ia salah satu penulis puisi-puisi paling indah. Pernah saya sesunggukan sehabis mendengar lagu Aku di Sini.

Iwan Fals juga ikut meloloskan bahasa Indonesia dari perangkap birokrasi yang bertele-tele. Model bahasanya tak ditemukan di program rutin TVRI, Dunia Dalam Berita, juga dalam seminar-seminar yang judulnya panjang dan sukar dicerna.

Kata-kata yang disampaikan Iwan Fals adalah metafora yang mewakili pengalaman hidup banyak orang. Siapa tak paham maksud dari “tikus kantor” dan “Guru Oemar Bakrie”? Seperti Chairil Anwar, syair-syairnya menjadi milik bersama. Karya-karyanya menjadi cermin kondisi bangsa. Inilah setinggi-tingginya puisi!

Ketika industri musik tanah air mulai mengalami gegar otak, banyak penikmat musik terbawa gelombang tren. Tapi Bang Iwan tak henti-hentinya menginspirasi banyak orang. Saya dan teman-teman yang tumbuh bersama lagu-lagu Iwan Fals, mana tahan mendengar lagu-lagu model begituan.

Sampai kini, berkat pergaulan, selera musik saya kian beragam. Apalagi sekarang banyak juga musikus-musikus kita yang punya kualitas bagus, meski kurang disukai pemilik televisi. Sedikit-sedikit ada juga karya musikus luar negeri yang mampir ke telinga. Namun saban mendengar lagu-lagu Iwan Fals, saya merasa pulang.

Sebetulnya saya selalu berharap lagu-lagu Iwan Fals yang penuh kritik dan satir baiknya masuk museum saja. Sesekali diputar lagi sekadar buat mengingat masa lalu. Tapi saban diputar, lagu-lagunya seperti baru diciptakan hari ini. Diciptakan untuk hari ini.





"Ingin ikut berkontribusi sumbang tulisan? Baca halaman Undangan Berkontribusi"
Ikuti kami di twitter @anggurtorelli, dan halaman facebook Anggur Torelli

6 komentar:

  1. iya bro, iwan pales selalu menyuguhkan realitas yang selalu menyentil hati nurani. tapi belakangan lagunya jadi cinta-cintaan gitu yes?

    BalasHapus
  2. pertamax nih.. BTW kok saya gk nyambung y ma judul..

    BalasHapus
  3. Habis garong hambur uang peduli syetan!

    BalasHapus
  4. Alhafiz Kurniawan30 Mei 2012 pukul 22.27

    Membaca tulisan di atas, saya teringat tulisan Andreas terkait dari Dewa Leuwinanggung ini

    BalasHapus
  5. Di rumah ini aku dilahirkan, di balai bambu buah tangan Bapakku. :D

    Om Tanto berjaya! 

    BalasHapus
  6. cetarrrrr....... terimaksih untuk penulis yang sedikt mengispirasi mata batin...........

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...