Oleh: Ayu Welirang
Homicide |
Saya
mencintai musik lebih banyak daripada buku. Saya memang lahir di kalangan
pemusik. Keluarga pemusik. Kala itu ayah masih dengan bangganya mempertahankan jazz fusion dari permainan gitarnya.
Sedangkan saya lebih memilih jalan grunge
underground ketika menjadi gitaris dan drummer sebuah band indie.
Saya mencintai musik sampai saya skeptis dan bisa saja jadi memarahi orang jika ada yang tak sependapat. Teman saya sering mengatakan itu. Katanya saya skeptis, apalagi jika sudah menyangkut musik dan buku. Entah kalau disandingkan dengan orang skeptis lainnya, mungkin saya bisa saja kalah. Tapi kalau sudah ada yang membantah saya, saya lebih banyak tak mau terima.
Musik
saya tak berhenti di situ-situ saja. Berbagai jenis musik yang kuat dari segi
lirik juga, sering saya bahas bersama beberapa teman pemusik di komunitas saya.
Dan dalam kurun beberapa tahun terakhir -di samping membahas Efek Rumah Kaca- saya
malah membahas salah satu grup musik yang sekarang ini sudah tak lagi tampil.
Sudah vakum total. Sayang sekali
padahal. Dan mungkin, kalau kalian mendengarkannya juga, kalian akan terkesima.
Musik ini mengusung tema pemberontakan, sebuah orasi besar-besaran untuk
menantang tirani. Musik ini membawa kita pada era tahun 90-an ketika musik
alternatif yang tergerus hip-hop masih mendunia. Musik ini adalah pemberontakan
ala boombox monger.
***
Mendengar
boombox kita pasti ingat akan sebuah
kotak besar yang dibawa musisi hip-hop kemanapun. Sebuah kotak musik yang bisa
meledakkan apa saja dan membuat semua orang berjoget. Di jalanan, di pelataran
gedung yang kapitalis, dan di depan tempat-tempat praktik kemaksiatan yang bisa
dihancurkan begitu saja. Dan oleh grup musik satu ini, boombox menjadi kekuatan terbesar, di samping lirik-lirik yang
sarat akan realisme sosial. Oh ya, saya belum menyebutkan nama grupnya sedari
tadi. Kira-kira ada yang tahu tidak? Ada yang bisa menebak atau tidak?
Namanya
Homicide. Grup musik ini digawangi
oleh Ucok yang rajin sekali menulis catatan harian bak Soe Hok Gie, dan rajin
sekali membaca buku-buku Salman Rushdie. Orangnya sangat kiri dan bawah tanah
sekali. Pada masa Orde Baru, mungkin grup musik ini satu-satunya yang tidak
diketahui, meskipun liriknya menyorot penguasa tiran pada masa itu.
Beberapa
lagunya memang mengandung lirik yang sangat sulit dipikirkan oleh manusia pada
umumnya, karena memang lebih menyerempet pada keindahan sastra yang dibalut
realita. Seperti membaca jurnalisme sastrawi, mungkin seperti inilah kiranya
gambaran dari Homicide.
Skeptisisme
saya lahir dari mereka. Tak jarang saya jadi termotivasi juga untuk melakukan
berbagai pemberontakan. Saya hanya bisa sampai berdemo saja, tidak benar-benar
sampai memberi surat kaleng pada penguasa. Dan saya rasa Ucok sudah sampai
tahap surat kaleng itu. Maka dari itulah, saya menelan bulat-bulat apa yang
Ucok sebutkan dalam tiap lagu, karena memang benar begitu adanya. Tak perlu ada
yang takut termanipulasi, karena Ucok melahirkan realita di dalam musiknya.
Soal
musik, mungkin tak banyak yang bisa didapatkan masyarakat awam. Musik Homicide
hanya terpaku pada beatbox dari mulut
sendiri, dee-jay yang memutar-mutar
piringan raksasa, dan hanya sebuah orasi kata-kata dalam bit seorang rapper. Itu saja. Tak ada gitar, tak ada
melodi-melodi menyayat hati, dan tak ada dinamika. Dinamika lebih ditekankan
dari permainan kata-kata Ucok dan orasi Ucok yang sangat membara.
Saya
senang ketika mendengar ini. Ucok seperti membawa kita untuk ikut
berteriak-teriak di tengah khalayak. Padahal, Ucok adalah pemusik, bukan orator
seperti Bung Karno.
Yang
membuat saya tak habis pikir, kenapa saya jadi mau-maunya mencari
istilah-istilah asing dari lagu-lagu Ucok? Sepertinya saya sudah semakin gila
saja akan keampuhan lirik Homicide dalam menantang tirani. Terlebih lagi,
lagu-lagunya seperti Sajak Suara,
Siti Djenar Chyperdrive, Barisan Nisan, Tantang Tirani, dan lagu-lagu lain telah mengawang-awang di pangkal
pikiran saya. Seperti hendak meledak dan terus menyeruak dan berteriak.
Lagu-lagu ini membuat saya bangkit berdiri dan harus menyadari akan satu hal
yang tak mungkin lekang dari pemerintahan kita, sebuah feodalisme yang melekat.
Kita
sudah dibentuk sedari kecil dengan mental feodal, dimana kita akan terus
menjadi yang tersisih dari pemerintahan yang tiran. Mental ini pun sempat
dibahas ketika seminar Reformasi
Birokrasi yang sempat digelar pada 26 Mei lalu. Kala itu, saya hanya bisa
tersenyum sinis menanggapi semuanya sambil berkata, “Cih! Memang busuk sekali doktrin
reformasi birokrasi seperti ini!”
Sambil
terus memegang teguh jiwa pemberontakan ala Homicide dan membuang jauh-jauh
mental feodal, saya katakan bahwa saya ini termasuk orang yang sedemikian
skeptis. Tak mengapa jika nantinya semua sifat saya ini akan runtuh seiring
waktu. Yang jelas, selagi muda, saya akan menendang jauh mental feodal dalam
diri agar tak melulu bisa dikalahkan oleh tingkatan-tingkatan sosial yang
kadang membuat manusia terpecah belah.
Sebagai
rakyat Indonesia, saya merasa satu dan saya merasa harus bersuara. Sebentuk
sajak suara ini mungkin jadi jawabannya.
Sajak Suara - Homicide
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakan!
sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakan!
sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan
Bagaimanapun, meski Ucok dan Homicide berhenti berontak, saya
tetap akan berteriak. Saya akan tetap begini dan skeptis seperti ini. Jiwa anak
muda memang harusnya begini bukan? Saya pun tak akan rela jika harus berlama-lama
menerima pahitnya tata cara “mereka” memerintah Indonesia. Ah entahlah, saya
rasa konsumsi buku saya sudah kelewat batas.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Ingin ikut berkontribusi sumbang tulisan? Baca halaman Undangan Berkontribusi"
Ikuti kami di twitter @anggurtorelli, dan halaman facebook Anggur Torelli