Oleh: Ahmad Makki
Tion dan Gerak-Gerik. Foto: Annida. |
"Gua
pengen meneladani para pedagang Cina. Harga murah, untung sedikit,
pemasukan lancar." kata lelaki tinggi besar itu. Saya mengangguk setuju.
"Harga murah juga berarti gua beramal buat mahasiswa," imbuhnya.
Lelaki
itu Ikhwan Nasution. Panggilannya Tion. Seorang kawan asal Batak pernah
berkata, ini kali pertama ia ketemu orang sedaerah yang berani memapas nama
marganya dengan sengaja.
Tapi
bukan lantaran itu Tion terkenal di kalangan pemburu buku sekitar UIN Jakarta.
Ia juragan toko buku -ia menyebutnya bengkel buku- Gerak-Gerik, yang mayoritas dagangannya adalah buku tua.
Ketika
Tion mengucapkan kalimat di atas, saya merasakan optimisme dan keteguhan. Ia
menyelundup kesana-kemari demi mengendus jejak buku-buku tua. Kerja keras
ini sempat membuat foto dan profilnya nampang di rubrik Sosok harian Kompas.
Dan sekitar
lima tahun setelah kalimat itu, Tion menutup Gerak-Gerik karena sepi
pembeli.
***
Bukan
koleksinya yang pertama kali membuat saya tertarik dengan toko buku Gerak-Gerik. Sebab ketika tengah melewati mulut gang kecil
itu, sekira paruh awal dekade 2000-an, saya belum tahu di sana dibuka toko buku
baru.
Adalah
sosok sastrawan Danarto yang mengundang mata saya. Legendaris yang wajahnya
hanya pernah saya lihat di media massa dan halaman akhir beberapa buku ini,
tengah membaca sambil menghadapi puluhan buku tertumpuk rapi.
Saya
menghampiri, menyalami sambil sedikit berbasa-basi, lalu menyelidik barang
jualan toko buku tersebut. Kala itu koleksinya masih buku-buku baru.
Beberapa
kali berkunjung, saya berkesempatan mengobrol dengan Tion. Ia mengaku
koleksinya tak baru-baru amat. Hanya buku-buku baru dengan angka penjualan
lumayan yang dipajangnya. Itu pun tema-tema tertentu, seperti filsafat, sastra,
budaya, sejarah dan sejenisnya. Buku-buku lainnya ia baru datangkan setelah
beberapa bulan diterbitkan.
“Buku-buku
bagus dan serius biasanya enggak laku. Beberapa bulan terbit lalu
menumpuk di gudang,” katanya. Ia lalu membujuk para penerbit agar menekan
harga, dengan jaminan angka penjualan sekian. Pertaruhan kredibilitas sebagai pedagang,
ia menyebutnya. “Gua yakin di UIN (Jakarta) pasar buku-buku beginian
masih lumayan”.
Beberapa
bulan kemudian Gerak-Gerik pindah tak jauh dari tempat semula. Lebih strategis
dan lebih luas. Buku-buku tua mulai dipajang, dan kian lama kian fokus ke
segmen ini. Tion pun makin edan pasang harga. Kumpulan cerpen legendaris Idrus,
Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma saya gondol pulang dengan harga lima ribu
perak. Novel klasik Dr. Zhivago yang diterjemahkan Trisno Sumardjo, di
sebuah bazar buku lama dibandrol 300 ribu. Wajar mengingat reputasinya, kata
saya. Tapi di Gerak-Gerik buku itu bisa dibawa pulang dengan harga 50 ribu. Yang
berbahasa Inggris harganya lebih jeblok lagi.
Makin
lama buku-buku tua kian menjejali Gerak-Gerik. Bobot kualitasnya kian canggih,
temanya tambah beragam. Ini cocok betul dengan selera intelektual saya yang urakan
dan kurang bertanggung jawab. Tiap punya duit barang 50-100 ribu, saya bergegas
mampir dan menghabiskannya selekas pecandu judi kurang siasat. Toko ini
sebenarnya menyediakan kantong plastik, tapi saban membeli lebih dari tiga
buku, saya cuma minta diikatkan lalu menentengnya dengan gaya berlebih-lebihan,
di sepanjang jalan yang dilalui ribuan mahasiswa.
Ide
Tion berkutat di buku-buku tua mendapat sambutan hangat, terutama ketika stok
baru buku-buku tua tiba. Tempat ini jadi semacam ruang rekreasi para pecandu
buku. Dengan kian ramainya Gerak-Gerik, Tion tak hanya berperan sebagai
juragan. Ia juga kerap membantu melayani, tapi lebih sering jadi katalog buku.
Memberi keterangan ringkas, menunjukkan buku-buku yang berhubungan, atau
merekomendasi.
Tion
juga bisa menjadi pedagang yang nyentrik. Jika ada yang bertanya buku-buku teks
kuliah, dengan ketus ia menjawab, “maaf, enggak jual yang begituan.”
Mereka
yang bokek bisa datang dengan nyaman, menunjuk beberapa buku yang diinginkan
agar disimpan dan tak dibeli orang lain. Seminggu atau dua mereka datang lagi
menyetor duit dan ambil buku.
Saya
juga menikmati fasilitas ini. Tapi saya punya kelemahan yang membuat enggan
memanfaatkannya terlalu sering. Saban main ke toko buku dalam kondisi kantong kempes,
kepala saya kerap pening, jantung berdebar-debar, kaki lemas dan keringat
menitik deras. Malamnya saya sukar tidur membayangkan buku incaran saya dijamah
orang.
***
Gerak-Gerik
bagi saya bukan sekadar toko buku.
Secara
personal, tempat itu seperti peta penunjuk untuk menemukan wilayah-wilayah baru
yang ikut membentuk diri saya.
Para
sastrawan seperti Gabriel Garcia Marquez, Camilo Jose Cela, Herman Hesse, Knut
Hamsun, Lu Hsun. Idrus dan John Steinbeck; esais dan kritikus macam Mahbub
Djunaidi, Dami N. Toda dan HB. Jassin; bahkan para pembahas sepakbola seperti
Franklin Foer, Simon Kuper dan Stefan Szymanski.
Tanpa
Gerak-Gerik, nama-nama di atas mungkin hanya bisa saya baca di Wikipedia sambil
mengira keagungan karya mereka. Saya tak bisa membayangkan hidup tanpa
pengalaman spiritual yang saya rasakan saat dihanyutkan karya mereka.
Selain
itu, Gerak-Gerik adalah saksi perubahan sosial di sekitar UIN
Jakarta. Saya memulai kuliah di kampus itu ketika forum-forum kajian tengah
jadi primadona. Saat itu sulit dipercaya anda telah tiga bulan kuliah di sana,
tanpa mampu menunjukkan tempat-tempat kajian ternama di Ciputat.
Para
jamaah forum-forum studi inilah yang menjadi konstituen setia tempat-tempat
semacam Gerak-Gerik. Mereka yang menganggap forum studi sama pentingnya dengan
ruang kuliah ini, secara regular menjadikan toko-toko buku sebagai taman
bermainnya.
Memasuki
paruh kedua dekade 2000-an, UIN mengalami banyak perubahan di berbagai aspek.
Para mahasiswa kian disibukkan dengan tugas kuliah. Saya mengingat dengan jelas
proses bergantinya buku-buku bacaan di tangan mahasiswa menjadi buku teks
kuliah. Saya bahkan bisa mengingat mahasiswa terakhir yang setia membawa buku
bacaan kala tengah nongkrong.
Perubahan
ini ikut dirasakan toko-toko buku. Perlahan-lahan mereka menyingkirkan bermacam
buku dari rak-raknya, menggantinya dengan sebatas buku teks. Tapi Gerak-Gerik
tetap keras kepala.
Di
saat-saat seperti itulah , sekitar lima tahun lalu, Tion menyatakan ingin meneladani
para pedagang Cina, setelah sebelumnya
mengeluhkan kian minimnya mahasiswa yang mendatangi Gerak-Gerik.
Saat
itu ia juga sempat berkata, “hitung jumlah toko buku (di sekitar) yang masih
bertahan. Itu indikator minat baca mahasiswa UIN”. Saya bisa mengingat
keberadaan sekitar 17 toko buku di radius 1 km di sekeliling UIN Jakarta. Saat
ini yang tersisa tinggal lima. Jika Tion benar, setidaknya masih ada Komaruddin
Hidayat, rektor UIN, yang masih percaya lembaganya sebagai world class
university.
***
Setelah
obrolan tersebut, kami tak lagi punya kesempatan berbicara secara pribadi,
hingga mendadak seorang kawan menyampaikan kabar tutupnya Gerak-Gerik.
Kali
pertama mendengarnya, saya melengak kaget. Baru berjam-jam kemudian saya
betul-betul menyadari bagian apa yang telah hilang dari kehidupan saya dan
teman-teman yang berselera sama.
Kini
setelah Gerak-Gerik tiada, saya jadi sadar betapa sedikit buku yang telah saya
baca.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------- "Ingin ikut berkontribusi sumbang tulisan? Baca halaman Undangan Berkontribusi"
Ikuti kami di twitter @anggurtorelli, dan halaman facebook Anggur Torelli